Berawal dari tidak
terkendalinya pemerintahan Abbasiyah atas kejayaan yang telah diperoleh selama
ini, berakibat buruk bagi kelangsungan dinasti Abbasiyah. Ditambah lagi dengan
kebiasaan hidup mewah bagi sebagian kalangan pejabat pemegang kekuasaan dengan menghambur-hamburkan
keuangan negara tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat, sehingga kurangnya
perhatian kepada daerah-daerah propinsi. Hal ini memicu munculnya keinginan
dari negara-negara kecil yang berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah untuk
mendirikan dinasti baru yang merdeka. Diantaranya adalah dinasti Buwaihi.
Untuk mengetahui
lebih lanjut, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang :
Dinasti Buwaihi
a. Asal
usul dan latar belakang berdiri dinasti Buwaihi
b. Pengakuan
khalifah Bani Abbas kepada sultan dinasti Buwaihi
c. Kemajuan
peradaban Islam pada masa dinasti Buwaihi
d. Kemunduran
dan keruntuhan dinasti Buwaihi
a.
Asal Usul Dan Latar Belakang Dinasti
Buwaihi
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam
sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi yang kemudian memegang
kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya berasal dari tiga orang
bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah
putra dari seorang yang bernama Buwaihi.[1]
Buwaihi ini berasal dari keluarga
miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam. Ia
adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal dari
keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya. Watak
keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu
Suja’, yang berarti bapak pemberani. Di dalam
diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini
terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.[2]
Maka ibn Kali sebagai panglima perang digantikan
Mardawij sebagai panglima baru, Mardawij memberi kepercayaan kepada Ali untuk
menjabat Gubernur Al Karaj. Dalam memimpin daerah yang baru ini, Ali beserta
saudara-saudaranya dapat menunjukkan kemampuannya dan dapat pula memimpin
rakyat dengan baik. Kesempatan dan kepercayaan ini mereka pergunakan sebagai
kondisi kekuatan dalam ekspansi wilayah.[3]
Dari
Al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaihi bermula. Pertama-tama Ali
berhasil menaklukkan daerah-daerah di persia dan menjadikan Syiraz sebagai
pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaihi yang bermarkas di
Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan,
dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah
Abbasiyah, Al-Radhi Billah, dan mengirinmkan sejumlah uang untuk perbendaharaan
negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke
Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sini tentara Buwaihi menuju baghdad untuk merebut
kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan
politik akibat perebutan amil al umara
antara Wazir dan pemimpin militer.[4]
Para
pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang berkedudukan di
Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan, Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada
tanggal 11 Jumadil ula 334 H / 945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan
langsung diangkat menjadi amiral umara, penguasa
politik negara, dengan gelar muizz
al-daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah dibagian Selatan Persia dan
pusatnya di Syiraz diberi gelar imad
al-daulah dan hasan yang memerintah dibagian Utara, Isfahan dan Ray,
dianugerahi gelar rukn al-daulah.
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para
khalifah tunduk kepada Bani Buwaihi. Pada masa pemerintahan Bani Buwaihi, para
khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan
sepenuhnya berada ditangan amir-amir Bani Buwaihi.[5] Ada tiga fase
sejarah pembentukan Dinasti Buwaihi, yaitu :[6]
Fase
Awal, fase ini adalah fase perjuangan untuk merobah nasib/ kondisi kehidupan
nelayan, kepada kehidupan yang lebih baik, dari berbagai seginya. Keluarga Abu
Suja‟, sebagai keluarga nelayan hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan.
Abu Suja‟ memiliki tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Abu
Suja‟ bercita-cita agar ketiga putranya tersebut jangan mewarisi pekerjaannya
sebagai nelayan.[7]
Fase
Kedua. Setelah beberapa tahun Ali, Hasan dan Ahmad aktif dalam dinas militer di
kota Dailam, jabatan panglima militer berganti. Panglima Militer Makan bin Kali
digantikan oleh Panglima Mazdawij bin Ziyar.. Pada masa Panglima Mazdawij bin
Ziyar inilah karir Ali, Hasan, Ahmad mulai naik, karena kecakapan dan
kecerdesan mereka dalam manjalankan tugas. Pada mulanya, Ali diangkat mejadi
gubernur Kharaj.[8]
Ketiga,
Fase Ketiga. Yaitu pengakuan atau legitimasi dari khalifah Daulah Bani
Abbasiyah. Pada awalnya, pemerintah Daulah Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh
Khalifah al-Mustakfi ( 944-946 M ) mengalami krisis dan konflik internal.
Konflik internal terjadi diantara keluarga istana dan di kalangan internal
pimpinan militer, yang umumnya dijabat oleh militer
keturunan bangsa Turki. Sementara itu, di tengah-tengah masyarakat sering
terjadi kekacauan, karena tidak adanya pemerintahan yang kuat dan berwibawa.[9]
b.
Perkembangan Peradaban Islam Pada Masa Dinasti buwaihi
a)
Politik dan
Pemerintahan
Pada masa dinasti
Buwaihi setelah Baghdad jatuh ke dalam kekuasaan dinasti Buwaihi, Mu’izz
al-dawlat, sebagai Amir al Umara,
memantapkan kekuasaannya dengan mengadakan pembenahan dan pembaharuan dalam
berbagai bidang dalam rangka membangun negara yang adil dan makmur. Untuk
mencapai hal di atas, prioritas utama yang dilakukan dinasti Buwaihi adalah
masalah keamanan negara.[10]
Setelah Baghdad
dikuasai, Bani Buwaihi memindahkan markas kekuasaan dari Syraz ke Baghdad.
Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah. Meskipun demikian,
kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syraz, tempat Ali ibn Buwaihi
(saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaihi, beberapa
dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani
Hamdan di wilayah Syria dan Irak, dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat
dikendalikan kembali dari Baghdad.[11]
Kekuasaan
politik yang selama ini berada di tangan khalifah, diserahkan kepada Amir
al-Umara, yang dipegang oleh Dinasti Bani Buwaihi. Sesuatu yang cukup
mengherankan pada masa ini adalah adanya perbedaan paham antara khalifah dengan
Amir al-Umara. Khalifah Daulah Bani Abbasiyah menganut paham Suni, sementara
itu Amir a-Umara dari Dinasti Bani Buwaihi ini berpaham Syi‟ah. Tetapi, selama
masing-masing pihak memperoleh kepentingannya, perbedaan paham agama tidak
menjadi penghalang untuk bekerja-sama dalam politik. Khalifah tetap diakui
sebagai pemimpin tertinggi spiritual, dan Amir al-Umara‟ mendapat kekuasaan
politik.[12]
b) Ekonomi dan Perdagangan
Perekonomian
pemerintahan dan rakyat Dinasti bani Buwaihi didukung oleh kegiatan
perdagangan, pertanian, perternakan dan perikanan serta industri. Pemerintah
membangun pasar sebagai pusat perdagangan. Membangun irigasi, untuk kemajuan
pertanian. Hasil industri yang terkenal pada masa pemerintahan Dinasti Bani
Saljuk adalah permadani, tekstil dan peralatan rumah tangga[13]
diperdagangkan untuk kebutuhan konsumsi rakyat, dalam dan luar Baghdad. Dan
ketika itu ekspor utama ke negara Eropa adalah bahan rempah-rempah. Kemudian
dalam rangka memperlancar dunia usaha dan perdagangan, pembangunan sarana jalan
dan jembatan mendapatkan prioritas dari negara. Untuk memperlancar arus lalu lintas di sungai,
dibangun sebuah bendungan, yang terkenal dengan sebutan Band Amir.
c)
Sosial Kemasyarakatan
Pada
masa pemerintahan Dinasti Bani Buwaihi, orang-orang keturunan bangsa Persia
mendapat kedudukan yang terhormat, di samping orang-orang keturunan bangsa Arab
dan Turki. Ketiga unsur masyarakat Islam pada pemerintahan Dinasti Buwaihi ini
hidup rukun dan damai, saling menghormati. Bahkan, tidak jarang terjadi ikatan
perkawinan di antara mereka, yang berlaku secara syari‟at Islam.[14]
Untuk menampung
anak-anak terlantar, dibangun beberapa rumah yatim piatu. Dan untuk melayani
kesehatan rakyat, di kota Baghdad, didirikan sebuah rumah sakit umum terbesar, yang terkenal dengan sebutan Al Bimaristan al Padudi. Rumah sakit ini
disamping berfungsi untuk melayani kesehatan rakyat, juga berfungsi sebagai
tempat praktek mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran. Dan didirikan pula sebuah
rumah sakit besar di Jindisabur. Rumah sakit ini pernah merawat Amir Ad-Dawlah
sampai sembuh.[15]
d) Pendidikan dan Iptek
Pemerintahan
Dinasti Bani Buwaihi sangat mendorong dan peduli dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, baik ilmu-ilmu naqliyah maupun ilmu-ilmu aqliyah.
Lembaga-lembaga pendidikan pada periode ketiga Daulah Bani Abbasiyah yang digerakan
oleh Dinasti Buwaihi adalah kuttab, mesjid, rumah ulama, istana, perpustakaan,
toko-toko buku dan ruang pertemuan sastrawan. Oleh sebab itu, pada ini lahir
dan muncul beberapa ilmuwan Muslim yang terkenal sampai sekarang, karena
memiliki karya/ buku yang diakui kualitasnya sebagai buku ilmiah.[16] Sehingga
munculnya para ilmuan yang terkenal, diantaranya :
a. Abd al
Rahman Sufi, salah seorang ahli Fisika cemerlang pada zamannya, adalah sahabat
karib Amir al Dawlah dari dinasti Buwaihi, yang dengan berbagai argumen ia
disebut Agustus kedua bangsa Arab.
b. Ad-Dawlah,
disamping seorang Amir, ia juga seorang sarjana Fisika. Ia pernah mendatangkan
ke istananya, orang-orang terpelajar untuk ambil bagian dalam diskusi ilmiah.
c. Ibn Sina
(980 – 1037 M) ia adalah dokter yang
mengarang satu ensiklopedia dalam ilmu kedokteran yang terkenal Al-Qanun fi Al-Thib. Ibn Sina juga
banyak mengarang dan yang termasyhur adalah Al-Syifa,
suatu ensiklopedia tentang Fisika,
Metafisika, Matematika yang terdiri atas 8 jilid.
d. Jabir Ibn
Hayyan terkenal sebagai bapak Ilmu kimia. Dan Abu Bakar zakaria al razi (865 –
925 M) mengarang buku besar tentang Al-Kimia yang baru dijumpai di abad XX ini
kembali.
e. Abu Raihan
Muhammad al-Baituni, seorang ahli dalam ilmu Fisika, sebelum Galileo, telah mengemukakan
teori tentang bumi berputar.[17]
e)
Kesenian
Memperindah kota
Baghdad dengan cara memugar jalan, taman dan selokan, membangun dan memugar
mesjid dan gedung pertemuan. Kemudian membangun sebuah
gedung baru, dar al mamlakah. Gedung
ini sebagai pusat pemerintahan yang terletak dihadapan istana. Dibangun pula
makam Imam terpandang, seperti makam Musa al Khazim dan Makam al-Ridha yang
hingga sekarang masih dapat disaksikan.
Khusus bagi kaum
Syi’ah, di Najef dan Karbala, dibangun sebuah gedung musoleum yang disebut
Mashhad. Maksud pembangunan gedung ini adalah untuk mengangungkan Ali Ibn
Abi Thalib dan putranya Husaen. Dan yang luar biasanya pada masa dinasti
Buwaihi ini juga dibangun sebuah gedung penoropong bintang, Dar al Rasyad. Menurut sejarah, gedung
ini telah menemukan tujuh buah bintang, yang sebelumnya tidak diketahui orang.[18]
f) Pemikiran dan Filsafat
Tumbuhnya
organisasi Ikhwan al Syafa adalah dari kaum filosof. Organisasi ini membentuk
aliran tertentu, yang mereka tuangkan ajarannya dalam 50 risalah. Diantara
ajarannya yang terpenting adalah dikatakan bahwa syari’ah itu telah dikotori
penuh dengan kebodohan dan bercampur pula dengan kesesatan, tidak ada jalan
lain untuk mensucikan, kecuali dengan berfilsafat, karena dalam al-qur’an itu
sendiri terkandung filsafat, theologi dan maslahat mursalah ijtihadiyah. Dengan
demikian, apabila filsafat Yunani dan Syari’ah Arabiyah dipadukan menjadi satu,
maka tercapailah kesempurnaan.
Pada masa dinasti
Buwaihi inilah muncul pemikir-pemikir dan filosof besar seperti al-Farabi (879
– 950 M), Ibnu Sina (980 – 1037 M), al-Biruni (973 – 1048 M), Ibnu Maskawih
(930 – 1030 M).[19]
g) Kehidupan Beragama
Dinasti Buwaihi
menganut aliran Syi’ah akan tetapi
mereka tidaklah memaksakan kehendak alirannya kepada masyarakat. Setiap pihak
diberi kebebasan untuk menganut kepercayaannya masing-masing. Ulama-ulama sunni
sangat banyak jumlahnya yang hadir di majlis diskusi yang dinamakan oleh
orang-orang Syi’ah dengan Amir Mu’izzut Daulah sebagai lambang kekuasaan Syi’ah.[20]
c.
Kemunduran Dan Keruntuhan Dinasti Buwaihi
a.
Kemunduran Dinasti Buwaihi
Kekuatan politik
dinasti Buwaihi tidak bertahan lama. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara
tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka.
Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian
antara ‘Izza Al-Daulah Bakhtiar, putera Mu’izz Al-Daulah dan ‘Adhal Al-Daulah,
putera Imad Al-Daulah, dalam perebutan jabatan amir al umara. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam
tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki.[21]
faktor-faktor
penyebab kemunduran Dinasti Buwaihi adalah :
1. Terjadinya perebutan kekuasaan sesama
keluarga Buwaihi
2. Rusaknya Hubungan Khalifah dengan
penguasa
3. Pemberian jabatan penting kepada orang
Turki (Saljuk) dan mulai mengabaikan orang-orang Dailam sendiri (khususnya di
bidang politik).
4. Terjadinya pertikaian antara Syi’ah dan
Sunniy
5. Ketidakmampuan penguasa mengendalikan
stabilitas politik
b.
Keruntuhan Dinasti Buwaihi
Jatuhnya kekuasaan
dinasti Buwaihi ketangan Saljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam
negeri. Ketika Al-Malik Al-Rahim memegang jabatan amir al umara, kekuasaan dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan
al-Basasiri. Dengan kekuasaan ditangannya, Al-Basasiri berbuat sewenang-wenang
terhadap Al-malik Al-Rahim dan Khalifah Al-Qaim dari bani Abbas, bahkan dia
mengundang khalifah Fathimiyah (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad). Hal
ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Saljuk
yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M / 447 H pimpinan
Saljuk memasuki Baghdad. Al-Malik Al-Rahim dipenjarakan. Dengan demikian
berakhirlah kekuasaan dinasti Buwaihi dan bermulalan kekuasaan dinasti Saljuk.[22]
Bani Buwaihi
dalam keseluruhan daulat Abbasiyah adalah pelaku pemerintahan yang secara
yuridis mendapatkan legalisasi dari keluarga Abbasiyah yang kemudian
mendudukkan dirinya sebagai symbol kekuasaan atau kerajaan yang secara teknis
tidak melaksanakan tata kelola pemerintahaan sehingga kemegahan dan kemajuan yang
diperoleh oleh bani Buwaihi secara teknis tidak digambarkan sebagai kemegahan
daluat Buwaihi tetapi tetap mengambil daulat Abbasiyah sebagai wadah besarnya.
Buwaihi ini berasal dari keluarga
miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam. Ia
adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal dari
keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya.
Kekuatan
Dinasti Buwaihi dari hari ke hari semakin kuat dan semakin besar pengaruhnya
dalam Dinasti Abbasiyah. Para khalifah Abbasiyah di bawah kekuasaan mereka dan
seluruh pemerintahan berada di tangan Dinasti Buwaihi. Khalifah Abbasiyah sudah
tidak dihormati lagi dan tidak mempunyai wewenang dalam pemerintahan. Khalifah
hanya tinggal nama saja yang disebut dalam doa-doa di atas mimbar tanpa adanya
kekuasaan di dalam pemerintahan dan hanya bertanda tangan di dalam peraturan
pemerintahan serta hanya sekedar nama khalifah yang ditulis di atas mata uang
dinar dan dirham.
Jurang
perbedaan antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Buwaihi semakin terlihat
manakala keduanya mempunyai ideologi yang berbeda. Dinasti Abbasiyah dengan
Sunni, sedangkan Dinasti Buwaihi dengan Syiahnya. Ketika Dinasti Buwaihi
memaksakan kehendaknya untuk memasukan Syiah ke dalam Dinasti Abbasiyah banyak
sekali pemberontakan yang terjadi dalam pemerintahan Abbasiyah yang dilakukan
masyarakat.
Sumber Bacaan
A.
Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : PT Al Husna,
1997
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
bu Su’ud, Islamologi (
Sejarah,
Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia ), Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2003
Hasan Ibrahim Hasan,
Tarikh al- Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964
Maidir Harun, Sejarah
Kebudayaan Islam Di Asia Barat,
Dosen SKI Fak.Adab dan
Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, 2016
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia, 2012
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2010
Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Bandung : Pustaka Setia, 2013
Syafiq A.Mughini, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, Jakarta : Logos, 1997
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Khilafah, Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve
[1]Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
Khilafah, ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve ), h.
[6]Maidir Harun, Sejarah
Kebudayaan Islam Di Asia Barat, ( Dosen SKI Fak.Adab dan Humaniora IAIN
Imam Bonjol Padang, 2016 ), 120
[7]Ibid,
h. 121
[8]Ibid,
h. 121
[9]Ibid,
h. 122
[12]Maidir Harun, op.cit, h.
123
[13]Ibid,
h. 126
[14]Ibid,
h. 127
[16]Maidir Harun, op.cit, h.
124
[19]Abu Su’ud,
Islamologi (Sejarah, Ajaran dan
Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 80
No comments:
Post a Comment