Thursday, July 6, 2017

Peradaban Islam Masa Dinasti Buwaihi

Berawal dari tidak terkendalinya pemerintahan Abbasiyah atas kejayaan yang telah diperoleh selama ini, berakibat buruk bagi kelangsungan dinasti Abbasiyah. Ditambah lagi dengan kebiasaan hidup mewah bagi sebagian kalangan pejabat pemegang kekuasaan dengan menghambur-hamburkan keuangan negara tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat, sehingga kurangnya perhatian kepada daerah-daerah propinsi. Hal ini memicu munculnya keinginan dari negara-negara kecil yang berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah untuk mendirikan dinasti baru yang merdeka. Diantaranya adalah dinasti Buwaihi.
Untuk mengetahui lebih lanjut, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang :
Dinasti Buwaihi
a.    Asal usul dan latar belakang berdiri dinasti Buwaihi
b.    Pengakuan khalifah Bani Abbas kepada sultan dinasti Buwaihi
c.    Kemajuan peradaban Islam pada masa dinasti Buwaihi

d.   Kemunduran dan keruntuhan dinasti Buwaihi


a.         Asal Usul Dan Latar Belakang Dinasti Buwaihi
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan  dan Ahmad. Ketiganya adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.[1]
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam. Ia adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya. Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang berarti bapak pemberani. Di dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.[2]
Maka ibn Kali sebagai panglima perang digantikan Mardawij sebagai panglima baru, Mardawij memberi kepercayaan kepada Ali untuk menjabat Gubernur Al Karaj. Dalam memimpin daerah yang baru ini, Ali beserta saudara-saudaranya dapat menunjukkan kemampuannya dan dapat pula memimpin rakyat dengan baik. Kesempatan dan kepercayaan ini mereka pergunakan sebagai kondisi kekuatan dalam ekspansi wilayah.[3]
Dari Al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaihi bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaihi yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, Al-Radhi Billah, dan mengirinmkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sini tentara Buwaihi menuju baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik akibat perebutan amil al umara antara Wazir dan pemimpin militer.[4]
Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan, Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal 11 Jumadil ula 334 H / 945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi amiral umara, penguasa politik negara, dengan gelar muizz al-daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah dibagian Selatan Persia dan pusatnya di Syiraz diberi gelar imad al-daulah dan hasan yang memerintah dibagian Utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar rukn al-daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaihi. Pada masa pemerintahan Bani Buwaihi, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan amir-amir Bani Buwaihi.[5] Ada tiga fase sejarah pembentukan Dinasti Buwaihi, yaitu :[6]
Fase Awal, fase ini adalah fase perjuangan untuk merobah nasib/ kondisi kehidupan nelayan, kepada kehidupan yang lebih baik, dari berbagai seginya. Keluarga Abu Suja‟, sebagai keluarga nelayan hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Abu Suja‟ memiliki tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Abu Suja‟ bercita-cita agar ketiga putranya tersebut jangan mewarisi pekerjaannya sebagai nelayan.[7]
Fase Kedua. Setelah beberapa tahun Ali, Hasan dan Ahmad aktif dalam dinas militer di kota Dailam, jabatan panglima militer berganti. Panglima Militer Makan bin Kali digantikan oleh Panglima Mazdawij bin Ziyar.. Pada masa Panglima Mazdawij bin Ziyar inilah karir Ali, Hasan, Ahmad mulai naik, karena kecakapan dan kecerdesan mereka dalam manjalankan tugas. Pada mulanya, Ali diangkat mejadi gubernur Kharaj.[8]
Ketiga, Fase Ketiga. Yaitu pengakuan atau legitimasi dari khalifah Daulah Bani Abbasiyah. Pada awalnya, pemerintah Daulah Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah al-Mustakfi ( 944-946 M ) mengalami krisis dan konflik internal. Konflik internal terjadi diantara keluarga istana dan di kalangan internal pimpinan militer, yang umumnya dijabat oleh militer keturunan bangsa Turki. Sementara itu, di tengah-tengah masyarakat sering terjadi kekacauan, karena tidak adanya pemerintahan yang kuat dan berwibawa.[9]
b.        Perkembangan Peradaban Islam Pada Masa Dinasti buwaihi
a)      Politik dan Pemerintahan
Pada masa dinasti Buwaihi setelah Baghdad jatuh ke dalam kekuasaan dinasti Buwaihi, Mu’izz al-dawlat, sebagai Amir al Umara, memantapkan kekuasaannya dengan mengadakan pembenahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang dalam rangka membangun negara yang adil dan makmur. Untuk mencapai hal di atas, prioritas utama yang dilakukan dinasti Buwaihi adalah masalah keamanan negara.[10]
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaihi memindahkan markas kekuasaan dari Syraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syraz, tempat Ali ibn Buwaihi (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaihi, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.[11]
Kekuasaan politik yang selama ini berada di tangan khalifah, diserahkan kepada Amir al-Umara, yang dipegang oleh Dinasti Bani Buwaihi. Sesuatu yang cukup mengherankan pada masa ini adalah adanya perbedaan paham antara khalifah dengan Amir al-Umara. Khalifah Daulah Bani Abbasiyah menganut paham Suni, sementara itu Amir a-Umara dari Dinasti Bani Buwaihi ini berpaham Syi‟ah. Tetapi, selama masing-masing pihak memperoleh kepentingannya, perbedaan paham agama tidak menjadi penghalang untuk bekerja-sama dalam politik. Khalifah tetap diakui sebagai pemimpin tertinggi spiritual, dan Amir al-Umara‟ mendapat kekuasaan politik.[12]
b)      Ekonomi dan Perdagangan
Perekonomian pemerintahan dan rakyat Dinasti bani Buwaihi didukung oleh kegiatan perdagangan, pertanian, perternakan dan perikanan serta industri. Pemerintah membangun pasar sebagai pusat perdagangan. Membangun irigasi, untuk kemajuan pertanian. Hasil industri yang terkenal pada masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuk adalah permadani, tekstil dan peralatan rumah tangga[13] diperdagangkan untuk kebutuhan konsumsi rakyat, dalam dan luar Baghdad. Dan ketika itu ekspor utama ke negara Eropa adalah bahan rempah-rempah. Kemudian dalam rangka memperlancar dunia usaha dan perdagangan, pembangunan sarana jalan dan jembatan mendapatkan prioritas dari negara. Untuk  memperlancar arus lalu lintas di sungai, dibangun sebuah bendungan, yang terkenal dengan sebutan Band Amir.
c)      Sosial Kemasyarakatan
Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Buwaihi, orang-orang keturunan bangsa Persia mendapat kedudukan yang terhormat, di samping orang-orang keturunan bangsa Arab dan Turki. Ketiga unsur masyarakat Islam pada pemerintahan Dinasti Buwaihi ini hidup rukun dan damai, saling menghormati. Bahkan, tidak jarang terjadi ikatan perkawinan di antara mereka, yang berlaku secara syari‟at Islam.[14]
Untuk menampung anak-anak terlantar, dibangun beberapa rumah yatim piatu. Dan untuk melayani kesehatan rakyat, di kota Baghdad, didirikan sebuah rumah sakit umum terbesar, yang terkenal dengan sebutan Al Bimaristan al Padudi. Rumah sakit ini disamping berfungsi untuk melayani kesehatan rakyat, juga berfungsi sebagai tempat praktek mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran. Dan didirikan pula sebuah rumah sakit besar di Jindisabur. Rumah sakit ini pernah merawat Amir Ad-Dawlah sampai sembuh.[15]
d)     Pendidikan dan Iptek
Pemerintahan Dinasti Bani Buwaihi sangat mendorong dan peduli dengan kemajuan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu naqliyah maupun ilmu-ilmu aqliyah. Lembaga-lembaga pendidikan pada periode ketiga Daulah Bani Abbasiyah yang digerakan oleh Dinasti Buwaihi adalah kuttab, mesjid, rumah ulama, istana, perpustakaan, toko-toko buku dan ruang pertemuan sastrawan. Oleh sebab itu, pada ini lahir dan muncul beberapa ilmuwan Muslim yang terkenal sampai sekarang, karena memiliki karya/ buku yang diakui kualitasnya sebagai buku ilmiah.[16] Sehingga munculnya para ilmuan yang terkenal, diantaranya :
a.       Abd al Rahman Sufi, salah seorang ahli Fisika cemerlang pada zamannya, adalah sahabat karib Amir al Dawlah dari dinasti Buwaihi, yang dengan berbagai argumen ia disebut Agustus kedua bangsa Arab.
b.      Ad-Dawlah, disamping seorang Amir, ia juga seorang sarjana Fisika. Ia pernah mendatangkan ke istananya, orang-orang terpelajar untuk ambil bagian dalam diskusi ilmiah.
c.       Ibn Sina (980 – 1037 M) ia adalah dokter yang  mengarang satu ensiklopedia dalam ilmu kedokteran yang terkenal Al-Qanun fi Al-Thib. Ibn Sina juga banyak mengarang dan yang termasyhur adalah Al-Syifa, suatu ensiklopedia tentang Fisika, Metafisika, Matematika yang terdiri atas 8 jilid.
d.      Jabir Ibn Hayyan terkenal sebagai bapak Ilmu kimia. Dan Abu Bakar zakaria al razi (865 – 925 M) mengarang buku besar tentang Al-Kimia yang baru dijumpai di abad XX ini kembali.
e.       Abu Raihan Muhammad al-Baituni, seorang ahli dalam ilmu Fisika, sebelum Galileo, telah mengemukakan teori tentang bumi berputar.[17]
e)      Kesenian
Memperindah kota Baghdad dengan cara memugar jalan, taman dan selokan, membangun dan memugar mesjid dan gedung pertemuan. Kemudian membangun sebuah gedung baru, dar al mamlakah. Gedung ini sebagai pusat pemerintahan yang terletak dihadapan istana. Dibangun pula makam Imam terpandang, seperti makam Musa al Khazim dan Makam al-Ridha yang hingga sekarang masih dapat disaksikan.
Khusus bagi kaum Syi’ah, di Najef dan Karbala, dibangun sebuah gedung musoleum yang disebut Mashhad. Maksud pembangunan gedung ini adalah untuk mengangungkan Ali Ibn Abi Thalib dan putranya Husaen. Dan yang luar biasanya pada masa dinasti Buwaihi ini juga dibangun sebuah gedung penoropong bintang, Dar al Rasyad. Menurut sejarah, gedung ini telah menemukan tujuh buah bintang, yang sebelumnya tidak diketahui orang.[18]
f)       Pemikiran dan Filsafat
Tumbuhnya organisasi Ikhwan al Syafa adalah dari kaum filosof. Organisasi ini membentuk aliran tertentu, yang mereka tuangkan ajarannya dalam 50 risalah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah dikatakan bahwa syari’ah itu telah dikotori penuh dengan kebodohan dan bercampur pula dengan kesesatan, tidak ada jalan lain untuk mensucikan, kecuali dengan berfilsafat, karena dalam al-qur’an itu sendiri terkandung filsafat, theologi dan maslahat mursalah ijtihadiyah. Dengan demikian, apabila filsafat Yunani dan Syari’ah Arabiyah dipadukan menjadi satu, maka tercapailah kesempurnaan.
Pada masa dinasti Buwaihi inilah muncul pemikir-pemikir dan filosof besar seperti al-Farabi (879 – 950 M), Ibnu Sina (980 – 1037 M), al-Biruni (973 – 1048 M), Ibnu Maskawih (930 – 1030 M).[19]
g)      Kehidupan Beragama
Dinasti Buwaihi menganut aliran Syi’ah  akan tetapi mereka tidaklah memaksakan kehendak alirannya kepada masyarakat. Setiap pihak diberi kebebasan untuk menganut kepercayaannya masing-masing. Ulama-ulama sunni sangat banyak jumlahnya yang hadir di majlis diskusi yang dinamakan oleh orang-orang Syi’ah dengan Amir Mu’izzut Daulah sebagai lambang kekuasaan Syi’ah.[20]
c.         Kemunduran Dan Keruntuhan Dinasti Buwaihi
a.       Kemunduran Dinasti Buwaihi
Kekuatan politik dinasti Buwaihi tidak bertahan lama. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara ‘Izza Al-Daulah Bakhtiar, putera Mu’izz Al-Daulah dan ‘Adhal Al-Daulah, putera Imad Al-Daulah, dalam perebutan jabatan amir al umara. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki.[21] faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti Buwaihi adalah :
1.      Terjadinya perebutan kekuasaan sesama keluarga Buwaihi
2.      Rusaknya Hubungan Khalifah dengan penguasa
3.      Pemberian jabatan penting kepada orang Turki (Saljuk) dan mulai mengabaikan orang-orang Dailam sendiri (khususnya di bidang politik).
4.      Terjadinya pertikaian antara Syi’ah dan Sunniy
5.      Ketidakmampuan penguasa mengendalikan stabilitas politik
b.      Keruntuhan Dinasti Buwaihi
Jatuhnya kekuasaan dinasti Buwaihi ketangan Saljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika Al-Malik Al-Rahim memegang jabatan amir al umara, kekuasaan dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan ditangannya, Al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadap Al-malik Al-Rahim dan Khalifah Al-Qaim dari bani Abbas, bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad). Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Saljuk yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M / 447 H pimpinan Saljuk memasuki Baghdad. Al-Malik Al-Rahim dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan dinasti Buwaihi dan bermulalan kekuasaan dinasti Saljuk.[22]

Bani Buwaihi dalam keseluruhan daulat Abbasiyah adalah pelaku pemerintahan yang secara yuridis mendapatkan legalisasi dari keluarga Abbasiyah yang kemudian mendudukkan dirinya sebagai symbol kekuasaan atau kerajaan yang secara teknis tidak melaksanakan tata kelola pemerintahaan sehingga kemegahan dan kemajuan yang diperoleh oleh bani Buwaihi secara teknis tidak digambarkan sebagai kemegahan daluat Buwaihi tetapi tetap mengambil daulat Abbasiyah sebagai wadah besarnya.
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam. Ia adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya.
Kekuatan Dinasti Buwaihi dari hari ke hari semakin kuat dan semakin besar pengaruhnya dalam Dinasti Abbasiyah. Para khalifah Abbasiyah di bawah kekuasaan mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan Dinasti Buwaihi. Khalifah Abbasiyah sudah tidak dihormati lagi dan tidak mempunyai wewenang dalam pemerintahan. Khalifah hanya tinggal nama saja yang disebut dalam doa-doa di atas mimbar tanpa adanya kekuasaan di dalam pemerintahan dan hanya bertanda tangan di dalam peraturan pemerintahan serta hanya sekedar nama khalifah yang ditulis di atas mata uang dinar dan dirham.
Jurang perbedaan antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Buwaihi semakin terlihat manakala keduanya mempunyai ideologi yang berbeda. Dinasti Abbasiyah dengan Sunni, sedangkan Dinasti Buwaihi dengan Syiahnya. Ketika Dinasti Buwaihi memaksakan kehendaknya untuk memasukan Syiah ke dalam Dinasti Abbasiyah banyak sekali pemberontakan yang terjadi dalam pemerintahan Abbasiyah yang dilakukan masyarakat.

Sumber Bacaan 
A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : PT Al Husna, 1997

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo  Persada, 2006

bu Su’ud, Islamologi ( Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia ), Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003

Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al- Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964 

Maidir Harun, Sejarah Kebudayaan Islam Di Asia Barat,  Dosen SKI Fak.Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, 2016

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2010

Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Bandung : Pustaka Setia, 2013

Syafiq A.Mughini, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, Jakarta : Logos, 1997

Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah,  Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve

 Yosoef Syoe’ib, Sejarah Daulah Abbasiyah II,  Jakarta : Bulan Bintang, 1977

[1]Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve ), h.
[2]Hasan Ibrâhîm Hasan, Tarikh al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964 ), h. 45
[3]Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia, 2012 ), h. 128
[4]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada, 2006 ), h. 68-69
[5]Ibid, h. 70
[6]Maidir Harun, Sejarah Kebudayaan Islam Di Asia Barat, ( Dosen SKI Fak.Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, 2016 ), 120
[7]Ibid, h. 121
[8]Ibid, h. 121
[9]Ibid, h. 122
[10]Ramayulis, op.cit, hal. 129
[11]Badri yatim, op.cit, hal. 70-71
[12]Maidir Harun, op.cit, h. 123
[13]Ibid, h. 126
[14]Ibid, h. 127
[15]Ramayulis, op.cit, hal. 131
[16]Maidir Harun, op.cit, h. 124
[17]Ramayulis, loc.cit, hal. 131
[18]Ibid, h. 131
[19]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 80
[20]Yosoef Syoe’ib, Sejarah Daulah Abbasiyah II, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1977 ), h. 175
[21]Badri yatim, op.cit, h. 71
[22]Ibid, h. 72

No comments:

Post a Comment

MU’TAZILAH

Pendahuluan Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan...