Thursday, June 1, 2017

PEMIKIRAN EKONOMI MUHAMMAD ASY- SYAIBANI


Oleh
Adi Putra Bunda, S.PdI


       Dalam literatur agama Islam tidak hanya membicarakan permasalahan ibadah semata tetapi Islam juga membicarakan masalah hukum (fiqih), masalah politik dan ketatanegaraan (siyasah), tetapi agama Islam juga membicarakan masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). perkembangan ekonomi itu sejatinya sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rosululloh saw, karena masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rosululloh saw menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinyadalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara. Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis. Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam. Salah satu tokoh ulama yang membahas permasalahan ekonomi adalah Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad Jazariya asy-Syaibani atau yang biasa lebih dikenal dengan nama asy- Syaibani, tulisan ini akan membahas bagaimana pemikiran ekonomi dalam pandangan asy-Syaibani.

      Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Asy-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban diwilayah jazirah Arab. Bersama orang tuanya, asy-Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqih, sastra, bahasa, dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Mughul. Pada periode ini pula, asy-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun, yakni sampai nama yang terakhir meninggal dunia. Setelah itu, ia berguru kepada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, sehingga keduanya tercatat sebagai tokoh mazhab Hanafi.
     Dalam menuntut ilmu, asy-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana keberbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syirya, Basrah, dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. ia juga pernah bertemu dengan Asy-Syafi’i ketika belajar al- Muwaththa pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya. Asy-Syaibani menjadi lebih banyak mengetahui berbagai hadits yang luput dari perhatian Abu Hanifah. Dari keluasan pendidikannya ini ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al-ra’yi di Irak dengan ahl al-hadits di Madinah. Setelah memperoleh ilmu yang memadai, asy-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai peranan penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apa lagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kotaRiqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkosentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Asy-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray dekat Teheran dalam usia 58 tahun.
     Selain menuntut ilmu asy-Syaibani juga sangat produktif dalam menulis kitab-kitab. Adapun kitab-kitab yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut :
a. Zahir ar-Riwayah, kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat. Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (W.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
b. An-Nawadir, kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm. Imam asy-Syafi’i menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani). 
     Jika merujuk pada sumber yang berkaitan dengan asy-Syaibani, para ekonom Islam berkesimpulan bahwa dasar dari pemikiran-pemikiran ekonomi yang dicetuskan oleh asy-Syaibani berasal dari kitab al-Kasb. Kitab ini merupakan sebuah kitab yang dilahirkan oleh Al Syaibani sebagai respon dari berkembangnya kehidupan zuhud yang ada pada abad kedua Hijriah. Pola hidup yang sangat religius tersebut telah memberikan dampak yang sangat besar dalam diri asy-Syaibani baik dalam kehidupannya maupun dalam metode penulisan karyanya sehingga banyak dari pemikirannya yang kaya akan muatan keagamaan yang bermuara pada tujuan akhir pencapaian ridho Allah. Asy-Syaibani merupakan salah seorang tokoh ekonomi Islam yang punya dampak yang cukup besar terhadap perkembangan ekonomi Islam. Bahkan Dr. Al Janidal menyatakan bahwa asy-Syaibani merupakan salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam. Adapun pemikiran asy-Syaibani tentang ekonomi adalah :
1)      Al- Kasb (kerja)
       Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
      Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal dan harta. Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid) syari’ah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.
Dalam pandangan Islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut, asy-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sanga penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah swt dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 :
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Asy-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib maka hukumnya menjadi wajib hukumnya. Lebih jauh, ia menguraikan bahwa untuk menunaikan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri merupakan hasil dari konsumsi makanan yang diperoleh dari kerja keras. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan suatu kewajiban dan karena hal tersebut maka hukum bekerja adalah wajib seperti kewajiban thaharah ketika akan melaksanakan sholat. Disamping itu, Asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani mereka.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan asy-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah swt. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah swt, hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.
2)      Kekayaan dan Kefakiran
             Menurut asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan demikian asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Di sisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.
 3)      Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Menurut asy-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, asy-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah menyediakan sawah dan ladng untuk bercocok tanam dan makanan yang kita makan merupakan hasil dari pertanian. Dari segi hukum, asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusaha di muka bumi ini. Barbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.
4)      Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Asy-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.
5)      Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Asy-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah swt memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat az-Zukhruf ayat 32 :
Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Dan Allah mengatakan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat 2 :   
Artinya : Dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan.

Lebih jauh asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis. 

Dari penjelasan teori ekonomi yang dikemukakan oleh asy-Syaibani di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa yang paling menonjol dari pemikiran ekonomi asy-Syaibani adalah penekanan pada unsur kerja dan prinsip saling membutuhkan antara satu dan lainnya dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Disini terdapat makna besar bahwa apapun posisi yang ditempati seorang pekerja ia mempunyai fungsi sesuai dengan posisinya tersebut. Dimana tanpa menjalankan hal tersebut maka hasil dari pekerjaan yang ada tidak akan tercapai secara maksimal. Ini sangat menunjukkan betapa sistem spesialisasi yang dicetuskan asy-Syaibani sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tanpa memandang rendah dan tingginya jabatan dalam pekerjaan. Secara garis besar pada dasarnya antara sistem spesialisasi pekerjaan yang dicetuskan oleh asy-Syaibani bahwa dengan adanya pekerjaan yang dilakukan berdasarkan keahlian maka akan berdampak pada semakin baiknya hasil dari suatu usaha dan bagi asy-Syaibani ini adalah fondasi utama dari setiap pekerja yang ada dalam usaha produksi Islam. Suatu pekerjaan yang baik merupakan suatu ibadah, agar kita bisa hidup lebih sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika manusia hanya menunggu karunia dari-Nya, niscaya itu tidak akan perna ada rezeki untuk dirinya karna tidak mau berusaha, dan bersyukurlah atas rezeki yang telah Allah berikan. Karena Allah akan menambahkan rezeki bagi orang yang mau mensyukurinya.

Dari teori yang telah dipaparkan oleh asy-Syaibani menyatakan bahwa kerja merupakan kewajiban bagi manusia yang selain berorientasi ekonomi juga harus beorientasi ridha Allah menurut penulis apabila teori dari asy-Syaibani dikaitkan pada zaman sekarang kita akan menemukan para pelaku usaha dalam mencari harta tidak hanya berkutat pada yang halal semata. ada juga para pelaku usaha mencari harta dengan cara yang telah diharamkan oleh Allah swt, sebagai contoh pada saat sekarang ini banyak pedagang yang menjajakan jualannya dengan menggunakan bahan-bahan yang diharamkan dan bisa membahayakan para konsumen seperti memakai minyak babi dalam dagangannya, memakai zat-zat yang berbahaya seperti formalin pengawet dan lain-lain dan juga menjamurnya usaha-usaha penjualan minuman keras demi meraih keuntungan semata, hal ini bertentangan dengan apa yang telah disampaikan oleh asy-Syaibani bahwa bekerja itu mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal dan asy-Syaibani menambahkan di dalam mencari harta harus menjaga lima hal yakni akal, agama, jiwa, keturunan dan harta. Jadi dari apa yang telah diamati dan dilihat secara garis besar usaha-usaha produksi yang terjadi saat ini belum dapat dikatakan ideal dengan teori yang telah dilahirkan oleh asy-Syaibani dalam menjaga diri seorang muslim. Walau memang tidak dimungkiri masih terdapat produsen-produsen yang dalam melaksanakan usaha produksinya memperhatikan kelima hal tersebut yang mungkin tidak banyak terlihat dan terekspos dalam kehidupan saat sekarang ini. Dari teori lain yang digagas oleh asy-syaibani apabila dikaitkan pada kondisi sekarang bisa kita lihat bahwa banyak manusia yang kaya pada dunia ini akan tetapi di dalam hatinya tidak pernah merasakan kecukupan, semakin kaya seseorang semakin merasa kekurangan di dalam hatinya, hal ini bisa kita lihat bahwa masih banyak penjabat yang melakukan korupsi untuk menambah harta kekayaannya padahal menurut asy-Syaibani sendiri menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.


DAFTAR BACAAN

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi, Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada, 1996

Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Bandung: Syamil Cipta Media, 2005

Muhammad bin Hasan Al Hasan Al Syaibani, al Iktisab fi al Rizq al Mustahab, Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, 1986



Taqiyuddin Al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, PDF

No comments:

Post a Comment

MU’TAZILAH

Pendahuluan Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan...