Oleh
Adi Putra Bunda, S.PdI
Dalam literatur agama Islam tidak hanya membicarakan permasalahan ibadah semata tetapi Islam juga membicarakan masalah hukum (fiqih), masalah politik dan ketatanegaraan (siyasah), tetapi agama Islam juga membicarakan masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). perkembangan ekonomi itu sejatinya sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rosululloh saw, karena masalah
ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.
Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rosululloh saw menjadikan pedoman oleh para
Khalifah sebagai penggantinyadalam memutuskan masalah-masalah ekonomi.
Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para
khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi
negara. Sejarah membuktikan
bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi
Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan
metodologi yang sistimatis. Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang
khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam. Salah satu tokoh ulama yang
membahas permasalahan ekonomi adalah Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin
Farqad Jazariya asy-Syaibani atau yang biasa lebih dikenal dengan nama asy-
Syaibani, tulisan ini akan membahas bagaimana pemikiran ekonomi dalam pandangan asy-Syaibani.
Nama lengkap beliau adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Asy-Syaibani lahir pada tahun 132 H
(750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani
Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban diwilayah jazirah Arab. Bersama
orang tuanya, asy-Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu merupakan
salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqih, sastra,
bahasa, dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan
Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Mughul. Pada periode ini pula, asy-Syaibani
yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun, yakni
sampai nama yang terakhir meninggal dunia. Setelah itu, ia berguru kepada Abu
Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, sehingga
keduanya tercatat sebagai tokoh mazhab Hanafi.
Dalam
menuntut ilmu, asy-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl
al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama
terdahulu, berkelana keberbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syirya,
Basrah, dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan
bin ‘Uyainah dan Auza’i. ia juga pernah bertemu dengan Asy-Syafi’i ketika
belajar al- Muwaththa pada Malik bin Anas. Hal tersebut
memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya. Asy-Syaibani menjadi
lebih banyak mengetahui berbagai hadits yang luput dari perhatian Abu Hanifah.
Dari keluasan pendidikannya ini ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl
al-ra’yi di Irak dengan ahl al-hadits di Madinah. Setelah memperoleh
ilmu yang memadai, asy-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah
berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai
peranan penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal
tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apa lagi
ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai
mazhab Negara. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal
dunia, khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kotaRiqqah,
Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian
mengundurkan diri untuk lebih berkosentrasi pada pengajaran dan penulisan
fiqih. Asy-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray
dekat Teheran dalam usia 58 tahun.
Selain menuntut ilmu asy-Syaibani juga sangat produktif dalam menulis kitab-kitab. Adapun kitab-kitab
yang ditulisnya dapat diklasifikasi dalam dua golongan berikut :
a. Zahir ar-Riwayah, kitab-kitab yang
ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu
Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok
pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam
pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir
ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir,
al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan
az-Ziyadat. Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang
berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah.
Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Maruzi (W.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam
salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
b. An-Nawadir,
kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri.
Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi
al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat
(himpunan keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis
ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah
(penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat
asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab
yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab
yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam
dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm. Imam asy-Syafi’i
menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd
‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan
asy-Syaibani).
Jika merujuk pada sumber yang berkaitan dengan
asy-Syaibani, para ekonom Islam berkesimpulan bahwa dasar dari
pemikiran-pemikiran ekonomi yang dicetuskan oleh asy-Syaibani berasal dari
kitab al-Kasb. Kitab ini merupakan sebuah kitab yang dilahirkan oleh Al
Syaibani sebagai respon dari berkembangnya kehidupan zuhud yang ada pada abad
kedua Hijriah. Pola hidup yang sangat religius tersebut telah memberikan dampak
yang sangat besar dalam diri asy-Syaibani baik dalam kehidupannya maupun dalam
metode penulisan karyanya sehingga banyak dari pemikirannya yang kaya akan
muatan keagamaan yang bermuara pada tujuan akhir pencapaian ridho Allah. Asy-Syaibani merupakan salah seorang tokoh
ekonomi Islam yang punya dampak yang cukup besar terhadap perkembangan ekonomi
Islam. Bahkan Dr. Al Janidal menyatakan bahwa asy-Syaibani merupakan salah
seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam. Adapun pemikiran asy-Syaibani tentang ekonomi adalah :
1)
Al- Kasb (kerja)
Dalam kitab Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai
mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi,
aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini
mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi
Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.
Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa
disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait
erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya.
Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang
dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan
dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas
(nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai utilitas
jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Syatibi,
kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan,
yaitu agama, jiwa, akal dan harta. Dengan demikian seorang muslim termotivasi
untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal
ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap
perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid) syari’ah, yakni
memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Pandangan Islam tersebut
tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa
suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang
menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu
barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan
ini bersifat subjektif.
Dalam pandangan Islam, aktivitas produksi merupakan
bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran
semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut, asy-Syaibani menegaskan bahwa
kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sanga
penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah swt dan
karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada firman
Allah swt dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 :
Artinya : Apabila telah ditunaikan shalat,
Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Asy-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang
terlaksananya yang wajib maka hukumnya menjadi wajib hukumnya. Lebih jauh, ia
menguraikan bahwa untuk menunaikan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan
kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri merupakan hasil dari konsumsi
makanan yang diperoleh dari kerja keras. Dengan demikian, kerja mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menunaikan suatu kewajiban dan karena hal
tersebut maka hukum bekerja adalah wajib seperti kewajiban thaharah ketika akan
melaksanakan sholat. Disamping
itu, Asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul
terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani mereka.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi
bekerja dalam pandangan asy-Syaibani adalah hidup
untuk meraih keridhaan Allah swt. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk
mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan
distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Dengan
demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah
swt, hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.
2) Kekayaan dan Kefakiran
Menurut asy-Syaibani walaupun telah banyak dalil yang
menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi. Ia menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa
yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan
perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks
ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang cukup (kifayah) bukan
kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan demikian asy-Syaibani menyerukan agar
manusia hidup dalam kecukupan baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Di sisi lain ia berpendapat bahwa
sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun
begitu ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan
tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.
3) Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Menurut asy-syaibani, usaha-usaha
perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan,
pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi
tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut
usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian
tersebut, asy-Syaibani lebih
mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain. Menurutnya, pertanian memproduksi
berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan
berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang
mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah menyediakan sawah dan ladng
untuk bercocok tanam dan makanan yang kita
makan merupakan hasil dari
pertanian. Dari segi hukum, asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua,
yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu
kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda
perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang
menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak
pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka
dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusaha di muka bumi ini. Barbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena
usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak
dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi,
begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan
bagi dirinya dan tanggungannya.
4)
Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Asy-Syaibani mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang
tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum,
pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini
adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan
untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup
tanpa keempat hal tersebut.
5) Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Asy-syaibani
menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia
tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak
akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan
manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah swt
memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu
diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi
akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat
bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat
az-Zukhruf ayat 32 :
Artinya
: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan.
Asy-Syaibani menandaskan
bahwa seorang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan
orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil
tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan
aktivitas ibadah kepada-Nya. Dan Allah mengatakan dalam Qur’an surat al-Maidah
ayat
2 :
Artinya : Dan saling menolonglah
kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan.
Lebih jauh asy-Syaibani menyatakan bahwa apabila
seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu
saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya
akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan
seperti yang di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara
bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
Dari
penjelasan teori ekonomi yang dikemukakan oleh asy-Syaibani di atas, penulis
mengambil kesimpulan bahwa yang paling menonjol dari pemikiran ekonomi
asy-Syaibani adalah penekanan
pada unsur kerja dan prinsip saling membutuhkan antara satu dan lainnya dalam
melaksanakan suatu pekerjaan. Disini terdapat makna besar bahwa apapun posisi
yang ditempati seorang pekerja ia mempunyai fungsi sesuai dengan posisinya
tersebut. Dimana tanpa menjalankan hal tersebut maka hasil dari pekerjaan yang
ada tidak akan tercapai secara maksimal. Ini sangat menunjukkan betapa sistem spesialisasi
yang dicetuskan asy-Syaibani sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tanpa
memandang rendah dan tingginya jabatan dalam pekerjaan. Secara garis besar pada
dasarnya antara sistem spesialisasi pekerjaan yang dicetuskan oleh asy-Syaibani
bahwa dengan adanya pekerjaan yang dilakukan berdasarkan keahlian maka akan
berdampak pada semakin baiknya hasil dari suatu usaha dan bagi asy-Syaibani ini
adalah fondasi utama dari setiap pekerja yang ada dalam usaha produksi Islam. Suatu
pekerjaan yang baik merupakan suatu ibadah, agar kita bisa hidup lebih
sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika manusia hanya menunggu karunia
dari-Nya, niscaya itu tidak akan perna ada rezeki untuk dirinya karna tidak mau
berusaha, dan bersyukurlah atas rezeki yang telah Allah berikan. Karena Allah
akan menambahkan rezeki bagi orang yang mau mensyukurinya.
Dari teori yang telah dipaparkan oleh asy-Syaibani menyatakan bahwa kerja merupakan kewajiban bagi
manusia yang selain berorientasi ekonomi juga harus beorientasi ridha Allah menurut penulis apabila teori dari asy-Syaibani dikaitkan pada zaman sekarang kita akan menemukan para pelaku usaha dalam mencari harta tidak hanya berkutat pada yang halal semata. ada juga para pelaku usaha mencari harta dengan cara yang telah diharamkan oleh Allah swt, sebagai contoh pada saat sekarang ini banyak pedagang yang menjajakan jualannya dengan menggunakan bahan-bahan yang diharamkan dan bisa membahayakan para konsumen seperti memakai minyak babi dalam dagangannya, memakai zat-zat yang berbahaya seperti formalin pengawet dan lain-lain dan juga menjamurnya usaha-usaha penjualan minuman keras demi meraih keuntungan semata, hal ini bertentangan dengan apa yang telah disampaikan oleh asy-Syaibani bahwa bekerja itu mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal dan asy-Syaibani menambahkan di dalam mencari harta harus menjaga lima hal yakni akal, agama, jiwa,
keturunan dan harta. Jadi dari apa yang telah diamati dan dilihat
secara garis besar usaha-usaha produksi yang terjadi saat ini belum dapat dikatakan ideal dengan teori yang telah dilahirkan oleh asy-Syaibani dalam menjaga diri seorang muslim. Walau
memang tidak dimungkiri masih terdapat produsen-produsen yang dalam
melaksanakan usaha produksinya memperhatikan kelima hal tersebut yang mungkin
tidak banyak terlihat dan terekspos dalam kehidupan saat sekarang ini. Dari teori lain yang digagas oleh asy-syaibani apabila dikaitkan pada kondisi sekarang bisa kita lihat bahwa banyak manusia yang kaya pada dunia ini akan tetapi di dalam hatinya tidak pernah merasakan kecukupan, semakin kaya seseorang semakin merasa kekurangan di dalam hatinya, hal ini bisa kita lihat bahwa masih banyak penjabat yang melakukan korupsi untuk menambah harta kekayaannya padahal menurut asy-Syaibani sendiri menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.
DAFTAR BACAAN
Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah
Menurut al-Syatibi, Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada, 1996
Boedi
Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2010
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan
Terjemahannya, Bandung: Syamil Cipta Media, 2005
Muhammad bin Hasan Al Hasan Al Syaibani, al Iktisab
fi al Rizq al Mustahab, Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyyah, 1986
Taqiyuddin Al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, PDF
No comments:
Post a Comment