ADI PUTRA BUNDA
Sudah merupakan opini umum bahwa permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di antaranya melalui pengadaan buku dan alat pelajaran, berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian dilihat dari berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang adil (equity) dan merata (equality). Pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia yang berkualitas yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Paradigma nasional Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjadi landasan dalam konsepsi dan pola pikir pengembangan kebijakan dan program pembangunan pendidikan nasional. Selain itu UU Sisdiknas, UU BHP, UU Guru dan Dosen, PP, Permen dan Perda menjadi landasan yuridisnya.
Salah satu faktor penentu dalam menunjang
keberhasilan peningkatan mutu pendidikan adalah tenaga pendidik. tenaga pendidik merupakan
sumber daya manusia yang berada di front paling depan tempat saat terjadinya
interaksi belajar mengajar. Hal itu mengandung makna bahwa upaya meningkatkan
mutu pendidikan harus dimulai dari guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dalam
mengoptimalkan kinerja mengajar guru yakni dalam rangka melaksanakan tugas dan
pekerjaannya, maka kepala sekolah yang berkualitas harus mampu mempengaruhi,
menggerakkan, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing,
menyuruh, memerintahkan, melarang, dan bahkan memberikan sanksi, serta membina
dalam rangka mencapai kinerja sekolah secara efektif dan efisien. Melalui
peningkatan kinerja mengajar guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
diharapkan prestasi kerja guru dapat mencapai hasil yang optimal.
Namun, hal tersebut tidak akan terealisasi jika
tanpa adanya motivasi dan etos kerja dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya
dari masing-masing elemen-elemen pendidikan. Berikut akan dipaparkan mengenai
motivasi dan etos kerja kependidikan Islam yang meliputi hakikat motivasi,
beberapa teori motivasi, beberapa bentuk motivasi dalam pendidikan Islam,
hakikat etos kerja serta fungsi motivasi dalam meningkatkan etos kerja dalam
pengelolaan pendidikan Islam.
a. Hakikat
Motivasi
Motif
atau motivasi berasal dari kata Latin "moreve" yang berarti dorongan
dari dalam diri manusia untuk bertindak atau berperilaku. Pengertian motivasi
tidak terlepas dari kata "needs" atau "want". Needs adalah
suatu potensi dari dalam diri manusia yang perlu ditanggapi atau direspon.
Tanggapan
terhadap kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut dan hasilnya adalah orang yang bersangkutan merasa atau
menjadi puas. Apabila kebutuhan tersebut belum direspons maka akan selalu
berpotensi untuk muncul kembali sampai dengan terpenuhinya kebutuhan yang
dimaksud.[1]
Beragam
batasan pengertian tentang motivasi menurut para ahli, di antaranya adalah :
a. Menurut
Sardiman A.M, motivasi adalah serangkaian usaha untuk menyediakan
kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melaksanakan
sesuatu, dan bila tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau
mengelakkan perasaan tidak suka itu. Dalam pendidikan motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan gaya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah
pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu
dapat tercapai.[2]
b. Menurut
Mc. Donald yang disadur oleh Oemar Hamalik mendefinisian motivasi dengan
"perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan
timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan.[3]
Dari
definisi tersebut terdapat tiga unsur
yang saling terkait, yaitu :[4]
1. Motivasi
dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi.
2. Motivasi
ditandai dengan timbulnya perasaan.
3. Motivasi
ditandai dengan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
c. Dalam
konteks yang sama, Duncan mengemukakan bahwa motivasi adalah setiap usaha yang
didasarkan untuk mempengaruhi perilaku seseorang dalam meningkatkan tujuan
organisasi semaksimal mungkin.
d. Berbeda
dengan Hasibuan yang merumuskan bahwa motivasi adalah suatu perangsang
keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi pada dasarnya
adalah daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang yang menjadi pendorong
dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
b. Beberapa
Teori Motivasi
Banyak
para ahli dari berbagai disiplin ilmu merumuskan konsep atau teori tentang
motivasi. Di antara banyak konsep tentang motivasi dari berbagai ahli tersebut,
berikut beberapa teori tentang motivasi di antaranya:
a. Teori
Hedonisme
Hedonisme
adalah bahasa Yunani yang berarti kesukaan, kesenangan, atau kenikmatan.
Hedonisme adalah suatu aliran di dalam filsafat yang memandang bahwa tujuan
hidup yang utama pada manusia adalah mencari kesenangan yang bersifat duniawi.
Pada abad ketujuh belas, Hobbes menyatakan bahwa apapun alasannya yang
diberikan seseorang untuk perilakunya, sebab-sebab terpendam dari semua
perilaku adalah kecendrungan untuk mencari kesenangan dan menghindari
kesusahan.
b. Teori
Naluri
Teori ini merupakan bagian terpenting dari
pandangan mekanisme terhadap manusia. Naluri merupakan suatu kekuatan biologis
bawaan, yang mempengaruhi anggota tubuh untuk berlaku dengan cara tertentu
dalam keadaan tepat. Sehingga semua pemikiran dan perilaku manusia merupakan
hasil dari naluri yang diwariskan dan tidak ada hubungannya dengan akal.
Menurut teori naluri, seseorang tidak memilih
tujuan dan perbuatan, akan tetapi dikuasai oleh kekuatan-kekuatan bawaan, yang
menentukan tujuan dan perbuatan yang akan dilakukan. Freud juga percaya bahwa
dalam diri manusia ada sesuatu yang tanpa disadari menentukan setiap sikap dan
perilakau manusia.
c. Teori
Reaksi yang Dipelajari
Teori
ini berbeda pandangan dengan tindakan atau perilaku manusia yang berdasarkan
naluri-naluri, tetapi berdasarkan pola dan tingkah laku yang dipelajari dari
kebudayaan di tempat orang itu hidup. Orang belajar paling banyak dari
lingkungan kebudayaan di tempat ia hidup dan dibesarkan. Oleh karena itu, teori
ini disebut juga teori lingkungan kebudayaan. Menurut teori ini, apabila
seorang pemimpin atau seorang pendidik akan memotivasi anak buah atau anak
didiknya, pemimpin atau pendidik itu hendaknya mengetahui benar-benar latar
belakang kehidupan dan kebudayaan orang-orang yang dipimpinnya.
d. Teori
Pendorong
Teori ini merupakan perpaduan antara
"teori naluri" dengan "teori reaksi yang dipelajari." Daya
pendorong adalah semacam naluri, tetapi hanya sesuatu dorongan kekuatan yang
luas terhadap suatu arah yang umum.[5]
e. Teori
Maslow
Maslow seorang ahli psikologi telah
mengembangkan teori motivasi ini sejak tahun 1943. Teori ini beranggapan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi
kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Di atas perincian
kebutuhan akan udara, udara, makanan, dan seks, dia menempatkan lima lapisan
kebutuhan yang lebih luas yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan cinta dan rindu, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan untuk
aktualisasi diri.[6]
Teori Maslow telah memberikan sumbangan yang
sangat berharga dalam usaha memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah
yang sebelumnya mungkin di abaikan dalam sementara organisasi, dan karena tidak
adanya pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini, kebutuhan yang lebih tingkatnya tidak
akan berfungsi.[7]
c. Beberapa
Bentuk Motivasi Dalam Pendidikan Islam
Para
ahli mengklasifikasikan bentuk-bentuk motivasi ke dalam beberapa bentuk, di
antaranya adalah :
a. Motivasi
Tradisonal
Bentuk motivasi ini menekankan bahwa untuk
memotivasi bawahan agar mereka meningkatkan kinerjanya, perlu pemberian isentif
yang tentunya diberikan kepada yang berprestasi tinggi atau kinerja baik.
Karyawan yang mempunyai prerstasi makin baik, maka makin banyak atau makin
sering karyawan tersebut mendapat insentif.
Hal ini juga dapat dilihat dari janji Allah
terhadap para syuhada dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 111 :
Artinya : Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al
Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah
kemenangan yang besar.
Dalam UU pun di atur tentang pemberian insentif
kepada pendidik yang berprestasi dalam bidangnya, hal ini terdapat dalam UU
Sisdiknas Bab XI tentang pendidik dan tenaga kependidikan pasal 40 ayat (1)
yaitu pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
1. Penghasilan
dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai
2. Penghargaan
sesuai dengan tugas dan prestasi kerja
Serta
pasal 43 ayat (1), yang menyatakan bahwa promosi dan penghargaan bagi pendidik
dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan,
pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.[8]
b. Model
Hubungan Manusia
Model
ini menekankan bahwa untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan, perlu
dilakukan pengakuan atau memperhatikan kebutuhan sosial mereka, meyakinkan
kepada setiap karyawan bahwa setiap karyawan adalah penting dan berguna bagi
organisasi. Oleh sebab itu, model ini lebih menekankan memberikan kebebasan
berpendapat, berkreasi, dan berorganisasi, dan sebagainya bagi setiap karyawan,
ketimbang memberikan insentif materi.
c. Model
SDM
Menurut model ini setiap manusia cenderung
untuk mencapai kepuasan dari prestasi yang dicapai, dan prestasi yang baik
tersebut merupakan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Oleh sebab itu, menurut
model sumber daya manusia ini, untuk meningkatkan motivasi karyawan, perlu
memberikan tanggung jawab dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi mereka.
Motivasi dan gairah kerja karyawan akan meningkat jika kepada mereka diberikan
kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Memberikan reward
dan punishment oleh atasan kepada bawahan juga dapat dipandang sebagai upaya
peningkatan motivasi kerja.[9]
Dipandang dari segi ini maka motivasi dapat
dibedakan menjadi dua, yakni:
1) Insentif
positif
Bentuk
motivasi ini adalah dengan memberikan reward kepada bawahan yang berprestasi
atau kinerjanya baik. Dengan reward yang diberikan ini akan meningkatkan
semangat kerja para karyawan, yang akhirnya akan memacu kinerja mereka lebih
meningkat.
2) Insentif
negatif
Menurut
bentuk ini pimpinan memberikan punishment kepada bawahan yang kurang
berprestasi atau kinerjanya rendah.[10] Kedua
jenis motivasi tersebut di atas dalam praktiknya dapat diterapkan oleh pimpinan
pendidikan, tetapi harus tepat dan seimbang, agar dapat meningkatkan semangat
kerja karyawan. Untuk memperoleh efek untuk jangka panjang, maka motivasi
positiflah yang lebih tepat digunakan, sedangkan insentif negatif hanya cocok
untuk meningkatkan motivasi jangka pendek saja.
Bentuk
motivasi seperti di atas dapat dilihat dalam UU Sisdiknas Bab XI tentang
pendidik dan tenaga kependidikan pasal 40 ayat (2) yaitu pendidik dan tenaga
kependidikan berkewajiban:
1) Menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis
2) Mempunyai
komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan,
3) Memberi
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan
kepercayaan yang diberikan kepadanya.[11]
d. Hakikat
Etos Kerja
Etos
berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian,
watak, karakter, serta keyakinana akan sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oeh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya.[12]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘etos’
adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, dan etos kerja
adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu
kelompok. Sedangkan dalam pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila, suatu
etos kerja dapat dikatakan dimuat di bawah sila yang kelima, yaitu: sikap adil
terhadap sesama, keseimbangan antara hak dan kewajiban, menghormati hak-hak
orang lain, suka memberi pertolongan dengan tujuan agar yang ditolong bisa
berdiri sendiri, bekerja keras dan menghargai hasil karya orang lain.[13]
Dalam Websters
World University Dictionary dijelaskan etos ialah sifat dasar atau
karakter yang merupakan kebiasaan dan watak bangsa atau ras.[14]
EI-Qussy, seorang pakar Ilmu Jiwa berkebangsaan Mesir,
menerangkan bahwa kegiatan atau perbuatan manusia ada dua jenis. Pertama, perbuatan
yang berhubungan dengan kegiatan mental, dan kedua tindakan
yang dilakukan secara tidak sengaja. Jenis pertama mempunyai ciri kepentingan,
yaitu untuk mencapai maksud atau mewujudkan tujuan tertentu. Sedangkan jenis
kedua adalah gerakan random (random movement) seperti terlihat
pada gerakan bayi kecil yang tampak tidak beraturan, gerakan refleks dan
gerakan-gerakan lain yang terjadi tanpa dorongan kehendak atau proses pemikiran.[15]
Dalam
etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan
menghindari segala kerusakan sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya.
Akibatnya, seorang muslim yang memiliki keprbadian qur'ani pastilah akan
menunjukkan etos kerja yang bersikap dan berbuat serta menghasilkan segala
sesuatu secara sangat bersungguh-sungguh dan tidak pernah mengerjakan sesuatu
setengah hati.
Dengan
etos kerja yang bersumber dari keyakinan qur'ani, ada semacam keterpanggilan
yang sangat kuat dari lubuk hatinya, karena ia bekerja atas dasar ketulusan
kepada Allah SWT. Ketulusan kepada Allah SWT dapat diartikan dengan harapan
terhadap ganjaran dari Allah SWT, merupakan faktor utama yang mendorong
seseorang untuk bekerja. Karena itu bekerja tetap didasarkan pada nilai-nilai
keimanan kepada Allah SWT dan inilah investasi besar umat Islam.[16]
Islam mengakui pentingnya materi tetapi bukan penganut materialisme. Dengan
kata lain materi bukan merupakan tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan.
Di
samping itu Allah juga memerintahkan manusia agar berbuat yang terbaik dan
bekerja dengan sebaik-baiknya yang disebut juga dengan ihsan, sebagaimana
firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat al-Qashash ayat 77 :
Artinya:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Jadi,
perintah untuk berbuat ihsan mendorong seseorang agar bekerja secara
profesional dan dengan etos kerja yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas yang
dimaksud dengan etos kerja adalah totalitas kepribadian diri serta cara
mengekspresikan, memandang, meyakini, da memberikan makna terhadap sesuatu yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal.
e. Fungsi
Motivasi dalam Meningkatkan Etos Kerja dalam Pengelolaan Pendidikan Islam
Keberhasilan dalam pengelolaan pendidikan Islam
atau suatu institusi atau organisasi ditentukan oleh dua faktor utama yakni SDM
dan fasilitas kerja. Dari kedua faktor utama tersebut SDM lebih penting
daripada sarana dan prasarana pendukung. Secanggih dan selengkap apapun
fasilitas pendukung yang dimiliki suatu organisasi kerja, tanpa adanya sumber
daya yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya, maka niscaya organisasi
tersebut tidak dapat berhasil mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasinya.
Kualitas SDM diukur dari performancenya.
Menurut Gibson maupun Stoner yang disadur oleh Soekidjo
berpendapat bahwa motivasi adalah merupakan faktor yang berpengaruh dalam
meningkatkan etos kerja dalam pengelolaan pendidikan Islam khususnya. Oleh
sebab itu, dalam rangka upaya meningkatkan etos kerja, maka intervensi terhadap
motivasi sangat penting dan dianjurkan.[17]
Di antara fungsi motivasi dalam meningkatkan etos kerja dalam pengelolaan
pendidikan Islam adalah:
a) Mendorong
gairah dan semangat kerja pegawai atau karyawan.
Dalam hal ini Allah pun memotivasi hamba-Nya
untuk bekerja terdapat dalam al-Qura'an surat at-Taubah ayat 105:
Artinya :
"Dan katakanlah, "bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberikan-Nya kepada kam apa yang telah kamu kerjakan."
b) Menentukan
arah perbuatan yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian
motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan
rumusan tujuannya.[18]
c) Meningkatkan
kepuasan kerja karyawan, yang akhirnya akan meningkatkan etos kerjanya.
d) Meningkatkan
produktivitasnya.
e) Meningkatkan
kedisiplinan SDM.
f) Meningkatkan
kehadiran kerja karyawan.
Kesimpulan
Motivasi
memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan etos kerja dalam
pengelolaan pendidikan Islam. Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu
bangsa atau satu umat terhadap kerja. Jika pandangan dan sikap itu melihat
kerja sebagai suatu hal yang luhur untuk eksistensi manusia, maka etos kerja
itu akan tinggi. Sebaliknya kalau etos kerja melihat kerja sebagai suatu hal
yang tidak berarti untuk kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak ada
pandangan dan sikap terhadap kerja, maka etos kerja itu dengan sendirinya
rendah. Oleh sebab itu untuk menimbulkan pandangan dan sikap menghargai kerja
sebagai sesuatu yang luhur diperlukan motivasi. Jadi, dapat diketahui bahwa
motivasi memberikan kontribusi dalam meningkatkan etos kerja terutama dalam
pengelolaan pendidikan Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aziz, El-Qussy,Abdul, Pokok-pokok Kesehatan
Jiwa/Mental, Terj. Dr. Zakiah Daradjat, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Adams, Mulford, Lewis, Websters
World University Dictionary, Washington
DC: Publishers Company Inc, 1965
Abdul
Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar (Dalam
Perspektif Islam), Jakarta: Kencana, 2004
Martinis
Yamin, Kiat Membelajarkan Siswa, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),
, Paradigma
Pendidikan Konstruktivistik: Implementasi KTSP & UU No. 14 Tahun 205
Tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008
Nasrul, Pendidikan
Agama Islam Bernuansa Soft Skills
Untuk Perguruan Tinggi Umum, Padang: UNP Press, 2011
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bandung: Bumi Aksara, 2001
Soekidjo
Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta,
2009
Sardiman,Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006
Sobri
Sutikno, Belajar dan Pembelajaran (Upaya Kreatif dalam Mewujudkan
Pembelajaran yang Berhasil), Bandung: Prospect, 2009
Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta:Gema Insani, 2002
Udai Parek, Perilaku Keorganisasian,
Jakarta: Anggota IKAPI, 1996
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 Tentang Penyenggaraan Pendidikan Serta Wajib Belajar, Bandung: Citra Umbara, 2010
[1]Soekidjo
Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, ( Jakarta: Rineka Cipta,
2009 ), h. 114
[2]Sardiman,Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar,( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006 ), h.
75
[3]Oemar
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, ( Bandung: Bumi Aksara, 2001 ), h. 158
[4]Martinis
Yamin, Kiat Membelajarkan Siswa, ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2007 ),
h. 217
[5]Abdul
Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar (Dalam
Perspektif Islam), (Jakarta: Kencana, 2004), h. 133-135
[6]Martinis
Yamin, Paradigma Pendidikan Konstruktivistik: Implementasi KTSP & UU No.
14 Tahun 205 Tentang Guru dan Dosen, ( Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 ),
h. 98
[7]Udai
Pareek, Perilaku Keorganisasian, (Jakarta: Anggota IKAPI, 1996), h. 111
[8]Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 Tentang Penyenggaraan Pendidikan Serta
Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 21-23
[9]Soekidjo
Notoatmodjo, op. cit., h. 131
[10]Ibid.,
h. 131
[11]Undang-Undang
Republik Indonesia, op. cit., h. 22
[12]Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta:Gema Insani, 2002), h.
15
[13]Sudirman
Tebba. Bekerja dengan Hati. ( Jakarta
: Bee Media Indonesia, 2006 ), h. 12
[14]Lewis Mulford
Adams, et.al, Websters World University Dictionary, (Washington
DC: Publishers Company Inc., 1965), hal. 331
[15]Abdul Aziz
El-Qussy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, Terj. Dr. Zakiah
Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 100-101
[16]Nasrul, Pendidikan
Agama Islam Bernuansa Soft Skills Untuk Perguruan Tinggi Umum, ( Padang:
UNP Press, 2011 ), h. 206
[17]Soekidjo
Notoatmodjo, op. cit., h. 125
[18]Sobri
Sutikno, Belajar dan Pembelajaran (Upaya Kreatif dalam Mewujudkan
Pembelajaran yang Berhasil), ( Bandung: Prospect, 2009 ), h. 73
No comments:
Post a Comment