Friday, July 7, 2017

Peradaban Islam Masa Dinasti Saljuq


ilustrasi

Pada paruh pertama abad ke-11 panggung sejarah kekuasaan dan suasana politik didunia Islam sedang dalam kondisi kritis. Khalifah Abbasiyah hanyalah pemegang kekuasaan bayangan, dan hampir seleruh imperiumnya telah terpecah  Suriyah Utara dan Mesopotamia berada dalam cengekraman para kepala suku yang saling berperang, yang sebagaian diantara mereka berhasil mendirikan sejumlah dinasti. Persia, Transoxiana, dan sejumlah kawasan di Timur, juga selatan diperebutkan oleh para pangeran Buwaihi Ghaznawi atau dikuasai oleh beberapa raja kecil dan satu sama lain menunggu kesempatan untuk saling menikmati leher pesaingnya. Anarki politik dan militer terjadi dimana-mana. Hal ini diperparah dengan konflik ideologi Sunni dan Syiah yang semakin memanas sehingga mengakibatkan kondisi Islam tampak semakin terpuruk, bahkan jatuh remuk. Dalam kondisi demikian tampilah kaum Turki Saljuk mengantarkan sebuah era baru dan penting dalam sejarah Islam dan Kekhalifahan.

a.      Asal usul dan latar belakang sejarah berdirinya dinasti Saljuq
Asal-usul Dinasti Saljuq dikaitkan dengan suku Ghuz di wilayah Turkistan, di bawah pimpinan Saljuq bin Tuqaq. Sesuai dengan kebiasaan hidup bangsa Turki yang nomaden, Saljuq bin Tuqaq dan para pengikut atau keluarganya hidup berpindah antara Khurasan, Bukhara Isfahan dan Marwa. Perpindahan tempat tinggal ini utamanya disebabkan oleh faktor ekonomi, yaitu sumber kehidupan dan tempat berternak. Dari Marwa, Saljuq bin Tuqaq membawa anggota suku dan pengikutnya ke wilayah Eay dan Khawarizmi di Asia Tengah.[1]
Saljuk dikenal sebagai seorang orator ulung dan dermawan oleh kerena itu ia disukai dan taati oleh masyarakat, dilain pihak istri raja Turki khawatir jika saljuk melakukan pemberontakan, karenanya ada rencana untuk membunuh saljuk secara licik, dan saljuk sendiri mengetahui rencana jahat tersebut lalu ia mengumpulkan pasukannya dan membawa mereka ke kota Janad, mereka  tinggal disana dan bertetangga dengan kaum muslimin di negeri Turkistan, maka ketika saljuk melihat prilaku orang Islam yang baik dan berakhalaq luhur ia akhirnya memeluk agama Islam dan kabilah Ghuzpun akhirnya memeluk Islam. Dan sejak itulah saljuk mulai melakukan perlawanan dan peperangan melawan orang-orang Turki yang kafir, akhrinya iapun mampu mengusir bawahan raja Turki dan menghapus pajak atas kaum muslimin.[2]
Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Ghuz dari Turki yang menguasai Asia Barat Daya pada abad ke-11 yang berada pada zaman Sultan Mahmud Sabaktakin.[3] Dan akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina dan sebagian besar Iran. Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas menandai awal kekuasaan suku bangsa Turki di kawasan Timur Tengah hingga abad ke-13.[4] Dalam kajian historis para sejarawan menyebutkan bahwa suku Saljuk  memeluk agama Islam pada sekitar akhir abad ke- 4 H/ 10 M, dengan barmazhab Sunni.[5] Silsilah kelurga Dinasti Saljuk bisa perinci sebagai berikut ;[6]
1.      Saljuk Ibnu Tuqaq memiliki dua orang putra yaitu Mikail dan Arselan Payghu namun dalam leteratur lain disebutkan bahwa Saljuk memiliki empat orang anak yaitu Arselan, Mikail, Musa dan Yunus.
2.      Mikail memiliki dua orang putra yaitu Chager Bek Daud dan Tughril Bek.
3.      Chager Bek Daud memiliki dua orang putra yaitu Alp Arselan dan Kaward.
4.      Alp Arselan memiliki dua orang putra yaitu  Malik Syah dan Tutush.
5.      Malik Syah memiliki empat orang putra yaitu Bargiyaruk, Muhammad, dan Sinyar serta Mahmud.
Dalam sejarahnya Imperium Saljuk dibagi menjadi beberapa cabang :
1.      Saljuk Raya
Saljuk Raya adalah yang menguasai Irak, Persia Barat dan Syiria, dan inilah yang akan dibicarakan karena Saljuk bercabang banyak dan tidak hanya menguasai wilayah kebudayaan Arab saja. Saljuk Raya adalah yang lebih dekat kepada wilayah kebudayaan Arab, walaupun luas kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah non Arab. Diantara para sultan Saljuk yang terkenal ialah Alp Arslan dan Malik Syah dengan menterinya yang terkenal ialah Nizamul Mulk. Alp Arslan mengembangkan wilayah kekuasaannya hingga ke Byzantium dengan memaksa Kasiarnya untuk membayar uang tebusan yang tinggi bagi kaisar yang tertawan. Hijaz yang di dalamnya berada tempat suci Makkah dan Madinah dirampasnya pula dari tangan Fatimiyah, ia terbunuh  dalam peperangan di Oxus. Malik Syah sebagai anak Alp Arslan dan penggantinya, mengembangkan wilayah lebih luas lagi, yang meliputi Afganistan hingga ke laut Tengah dan dari Asia kecil hingga ke Yaman.
Pusat  kekuasaan Saljuk adalah Ray dan Isfahan, sedangkan kekuasaan para khalifah Abbasiyah tetap di Baghdad. Di kota tersebut terakhir itu dan di Nishapur pada masa Malik Syah dikembangkan madrasah Nizamiah yang dipelopori oleh menteri Nizamul Malik, disamping mendirikan Hanafite School yang diambil dari nama salah seorang imam yang empat, yakni imam Abu Hanifah. Dinasti Saljuk berhasil mengembalikan reputasi Abbasiyah yang bermazhab Sunni dari pemaksaan kehendak para pemimpin Bani Buwaihi yang Syi’i. pada masanya hidup para tokoh ilmuan Muslim seperti imam al-Ghazali yang pernah memimpin madrasah Nizamiyah, Umar Khayam dan lain-lain.[7]
2.      Saljuk Iraq
Setelah wafatnya Malik Syah ibn Alp Arselan pada tahun 511 / 1117, mulailah muncul perpecahan diantara jerabat Saljuk. Perpecahan tersebut ditandai dengan munculnya kesultanan-kesultanan kecil di wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari kekuasaan Saljuk Raya di Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa yang pertama kali memisahkan diri, ia melepaskan diri dari kekuasaan pamannya, Sultan Sanjar melalui pertempuran. Pemisahan wilayah Irak dari kekuasaan Saljuk raya secara independen akhirnya dipenuhi dengan menjadikan Mahmud sebagai waliyal-ahd untuk wilayah yang sama. Sepeninggal Mahmud, gelar Sultan jatuh kepada puteranya Dawud (1131-1132), Tughril II (1132-1134), Mas’ud (1134-1152), Malik Syah (1152-1161), Arselan Syah (1161-1175) dan Tughril III (1175-1194). Dengan kematian Sultan Mahmud pada tahun 525/1130 di kota Hamadan, persaingan politik menyeruak kepermukaan. Persaingan politik tersebut melibatkan para amir dan malik bangsa Saljuk.[8]
3.      Saljuk Syria (1078-1117)
Penguasa Saljuk yang berada di Syam atau Syria merupakan keturunan Taj al-Daulah Tutusy Alp Arslan, ia sendiri telah memerintah disana sejak tahun 470/1077, atas nama Malik Syah. Pada akhirnya Malik Syah menyerahkan kepemimpinan politik kepada mereka dan memperbolehkan mereka untuk menaklukkan wilayah sekitarnya, yang sebelumnya terpusat hanya di kota Damaskus. Tutusy sendiri menaklukkan Damaskus pada tahun 471/1078 melalui pertempuran sengit. Setelah Malik Syah meninggal dunia Tutusy memobilisasi tentaranya dalam jumlah besar untuk menaklukkan kota Halb.[9]
4.      Saljuk Kirman
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga Qawurtiyun, sebutan tersebut diambil dari pendiri kerajaan di wilayah ini yaitu “Imad al-Din Kara Arselan Qawurt ibn Chaghri Beg Dawud Ibn Mikail. Sedangkan kaitan dengan dinasti Saljuk adalah Alp Arselan ibn Chaghri Beg.
5.      Saljuk Rum (1077-1302)
Kerajaan Turki Saljuk di Rum (Asia kecil) muncul pada tahun 1075. setelah tiga puluh tahun kemunculan Turki Saljuk Raya si Iran, pendirinya adalah Abu Fawaris Sulaiman ibn Qutlumisy ibn Israel ibn Saljuk.
Pada saat Bani Saljuq dipimpin oleh Tougrel Bek bin Arselan, kekuatan militer dan pengaruh Bani Saljuq mulai meningkat kembali, lebih-lebih setelah Sultan Mahmud al-Gaznawi meninggal dunia. Bahkan, setelah Sultan Mahmud Al-Gaznawi meninggal dunia, pemerintahan Dinasti Gaznawi mulai lemah, karena perpecahan dan konflik internal serta serangan dari luar. Dalam kondisi seperti itu, Khalifah al-Qaim dari Daulah Bani Abbasiyah di Bagdad sedang dihadapkan kepada persoalan yang pelik dan berat. Yaitu munculnya pemberontakan panglima militer Dinasti Buwaihi yang bernama al-Basyasyiri yang berpaham Syi‟ah.[10]
Ada penulis sejarah yang mengatakan bahwa Khalifah al-Qaim, disingkirkan oleh al-Basyasyiry dari kota Bagdad ke kota Tikrit, yang terletak di sebelah utara kota Bagdad. Sebenarnya, khalifah-khalifah Daulah Bani Abbasiyah sudah tidak senang dengan sultan-sultan Bani Buwaihi yang mulai melakukan syi‟ahisasi dengan berbagai cara, termasuk dengan menjalin hubungan kerjasama dengan pemerintahan Daulah Fatimiyah di Mesir. Akhirnya, Khalifah al-Qaim meminta bantuan kepada Tougrel Bek bin Arselan dari Bani Saljuq untuk mengatasi masalah tersebut.[11]
Setelah mempelajari masalah yang dihadapi oleh Khalifah al-Qaim di Bagdad, Tougrel Bek mengabulkan permintaan khalifah, apalagi antara Khalifah al-Qaim dari segi akidah, yaitu paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah/Suni. Maka Tougrel Bek membawa anggota pasukan militernya menuju dan memasuki kota Bagdad pada tahun 1055 M/447 H. Pasukan Tougrel Bek dihadang oleh Panglima al-Basyasyiri dan pasukannya. Terjadilah peperangan hebat di Bagdad dan sekitarnya. Akhirnya, Tougrel Bek dan pasukannya berhasil menumpas dan mengalahkan pasukan al-Basyasyiri yang memberontak kepada Khalifah Al-Qaim. Panglima al-Basyasyiri sendiri tewas. Selanjutnya, Tougrel Bek berusaha menciptakan keamanan dan stabilitas kota Bagdad. Sultan Bani Buwaihi yang terakhir, yaitu Sultan Malik al-Rahim ( 1048-1055 M ) diusir keluar kota Bagdad.[12]
Atas keberhasilan tersebut, maka khalifah Al-Qaim, yang memerintah dari 1031 sampai dengan 1075 M memberikan pengakuan dan legitimasi kepada pemerintahan dan kepemimpinan Tougrel Bek pada tahun 1055 M. Dengan demikian pemerintahannya sah secara syar‟iy, karena telah mendapat pengakuan dari khalifah. Tougrel Bek diberi gelar oleh khalifah dengan sebutan Yamin al-Daulah. Maka sejak saat itulah resminya berdiri Dinasti Bani Saljuq, secara defacto dan de yure. Walaupun kenyataannya Bani Saljuq telah eksis dan tampil sejak masa Saljuq bin Tuqaq. Tetapi, eksistensi secara resmi baru dimulai sejak mendapat pengakuan dan legitimasi khalifah Al-Qaim- dari Daulah Bani Abbasiyah tahun 1055 M.[13]
b.      Perkembangan peradaban Islam pada masa dinasti Saljuq
1)      Politik dan Pemerintahan
Pemimpin Saljuk terakhir Tughril Bek berhasil mengalahkan Mas’ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Gaznawiyah pada tahun 429 H/1036 M dan memaksanya meninggalkan wilayah Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut Thugril memproklamasikan berdirinya Dinasti Saljuk. Pada tahun 432/1040 dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan Thugril Bek inilah Dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Dinasti Buwaihi. Sebelumnya Tughril berhasil merebut daerah-daerah Marwa dan naisabur dari kekuasaan Gaznawiyah, Balkh, Jurjan, tabaristan, Kawarizm, Ray, Isfahan.[14]
Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Tughril Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya. Pada masa Alp Arselan perluasan wilayah yang telah dimulai oleh Thugril Bek dilanjutkan ke arah barat samapi pusat kebudayaan Romawi di Asia kecil, yaitu Bizantium. Pada masa pemerintahan Malik Syah ia berhasil menaklukkan Bukhara pada tahun 482 H.[15] Para penguasa dinasti Saljuk mengembalikan jabatan perdana menterinya (wazir) dan jabatan ini membawahi Departemen yang sebelumnya dihapus oleh Bani Buwaihi.
2)      Ekonomi dan Perdagangan
Masa pemerintahan Alp Arselan, ekonomi dan perdagangan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik Syah bersama perdana menterinya Nizam al-Muluk. Nizam al-Muluk inilah yang memprakarsai bidang kesejahteraan masyarakat dibangun berbagai fasilitas pusat perekonomian dan pusat-pusat perdagangan seperti pasar-pasar rakyat di berbagai pusat kota Baghdad.
Stabilitas, keamanan dan ketenteraman yang dijamin oleh kemampuan militer serta kecakapan administrasi membuat kegiatan-kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan dengan maksimal sehingga dapat menjadikan rakyat Bani Saljuk makmur, terutama pada masa pemerintahan Malik Syah. Beliau dengan giat melakukan pembangunan untuk sarana perekonomian, seperti jembatan-jembatan, dan perbaikan pelabuhan serta jalan raya.
3)      Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat yang berada di bawah pemerintahan Dinasti Bani Saljuq sangat heterogen, baik dilihat dari sudut etnis maupun kepercayaan agama. Unsur-unsur masyarakat terdiri dari keturunan bangsa Turki, Arab, Persia, Mongol dan lain-lainnya. Masing-masing memiliki adat-istiadat dan budaya sendiri, yang kadang-kadang berbeda antara satu dengan yang lainnya.[16]
Di samping itu, masyarakat Dinasti Bani Saljuq juga berbeda-beda keyakinan agamanya, ada yang memeluk agama Islam, sebagai kelompok mayoritas. Tetapi ada juga yang menganut agama Kristen, Yahudi, Majusi, Zeroaster dan kepercayaan –kepercayaan lainnya. Di kalangan umat Islam sendiri, juga terdapat perbedaan, yaitu aliran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dan Syiah.[17]
Kedudukan perempuan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuq lebih diutamakan sebagai ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, poligami dibolehkan, selama seorang lelaki yang akan berpoligami tersebut mampu adil dan mampu memberi nafkah isteri-isterinya tersebut, yang dibatasi hanya maksimal empat orang. Anak-anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan, keturunannya ditentukan menurut garis keturunan ayahnya ( patrilineal ).[18]
4)      Pendidikan dan Iptek
Masa pemerintahan Sultan Malik Syah ( 1072-1092 M ), sultan Dinasti Saljuq Raya dapat dikatakan sebagai masa kemajuan Bani Saljuq dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sultan mengangkat wazirnya yang bernama Nizam al-Muluk. Wazir ini sangat peduli dan perhatian kepada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Atas izin dan restu Sultan Malik Syah ia mendirikan Madrasah Nizamiyah di kota Bagdad dan memiliki cabang di beberapa kota penting lainnya di dalam wilayah pemerintahnnya. Dari Madrasah Nizamiyah ini lahirlah ulama-ulama Suni yang terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, terutama bidang ilmu pengetahuan naqliyah, sesuai dengan paham akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.[19]
madrasah Nizamiyah didirikan dengan tujuan: pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi pemikiran Syiah, kedua, menyediakan guru guru Sunni yang cukup untuk untuk mengajarkan faham Sunni dan menyebarkanya ke tempat lain, ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untu berpastisipasi dalam menjalankan pemerintahan khususnya dibidang peradilan dan manajemen.[20]
Banyak sekali ulama yang terkenal pada masa pemerintahan Dinasti Saljuq, terutama yang mengajar pada Madrasah Nizamiyah, di antaranya :
a.       Imam Abu Hamid al-Gazali al-Hujjat al-Islam
Ia seorang ulama yang ahli tasawuf, akidah dan anti filsafat. Di antara buku karangannya yang terkenal dan berpengaruh sampai sekarang adalah :
1)      Ihya Ulum al-Din
2)      Tahafat al-Falasifat
3)      Al- Iqtishad fi al-I‟tiqad
4)      Al- Risalah al-Qudusiyah fi al-I‟tiqad.
5)      Mizan al- Aqli.
6)      Maqashid al- Falasifah.
7)      Mi‟yar al- Uqul.
8)      Al- Munqiz min al-Dhalal
b.      Imam Abu Hasan Ali Ibn Ismail al-Asy’ary
Abu Hasan al-Asy‟ary adalah seorang ulama yang gigih berjuang untuk mengembangkan paham akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dan menentang paham Mu‟tazilah. Padahal, selama berpuluh tahun menganut paham mu‟tazilah. Sehingga pada masa Dinasti Saljuq paham akidah yang dikembangkannya sangat berpengaruh di kalangan masyarakat, sehingga para pengikutnya disebut dengan golongan Asy‟ariyah. Di antara buku karangan Imam Abu Hasan al-Asy‟ary adalah sebagai berikut :
1)      Buku al-Fushul.
2)      Buku al-Luma‟.
3)      Buku Idhah al-Burhan.
4)      Buku Al-Tabyin an Ushul al-Din.
5)      Buku al-Syarhu wa al-Tafshil fi al-Radd ala Ahl al-Ifk wa al-Tadhlil.
6)      Buku Kitab al-Qiyas.
7)      Buku Kitab al-Ijtihad.
8)      Buku Khabar al-Wahid
5)      Kesenian
Kaum Saljuk sangat suka kepada bangunan-bangunan yang besar, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang warna-warni penuh hiasan. Benda-benda seperti ini begitu menarik pandangan mereka, menyenangkan perasaan serta mengisi kekosongan yang terdapat di desa-desa dan padang pasir. Hasil-hasil seni ini sangat digemari di zaman mereka. Pada umumnya kaum Saljuk itu amat menyenangi hasil-hasil seni yang indah  dan memelihara dengan baik, sultan-sultan memberi perlindungan kepada hasil-hasil seni itu dan memberikan motivasi kepada penciptanya untuk terus berkarya. Bangunan-bangunan Saljuk di Isfahan merupakan bukti minat mereka terhadap bidang bangunan. Mereka telah mendirikan tiang-tiang yang tinggi untuk membuat bangunan-bangunan yang besar.[21]
6)      Pemikiran dan Filsafat
Bangsa Saljuk sebagaimana bangsa Turki sesudahnya, merupakan komunitas Sunni yang militan, karena itu dikemudian hari merupakan pembela khilafah Sunni dari kekuatan yang hendak menghancurkannya.[22] Madrasah Nizamiyah didirikan dengan tujuan untuk menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi pemikiran Syiah, dan menyediakan guru-guru Sunni yang cukup untuk mengajarkan faham Sunni.
Ulama- ulama yang berpengaruh pada umumnya adalah ulama yang menganut paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah, khususnya aliran Asy‟ariyah. Aliran Asy‟ariyah adalah aliran akidah Islam yang sangat meninggikan wahyu dan kekuasaan mutlak Tuhan. Para ulama tersebut sangat menentang filsafat. Bahkan, Imam al-Gazali, seorang ulama yang sangat berpengaruh mengatakan dalam bukunya Tahafat al-Falasifah bahwa bahwa para filosof telah kafir, karena berkeyakinan bahwa :[23]
a)      Alam kekal dalam arti tak bermula.
b)      Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
c)      Pembangkitan jasmani tidak
7)      Pemahaman Keagamaan
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Saljuk berkuasa, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-orang Syiah. Dinasti Saljuk terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syiah dan mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Pada umumnya ulama-ulama pada masa Dinasti Saljuq ini menentang dan menolak paham Syiah dan Mu‟tazilah dan aliran-aliran lain yang tidak sesuai dengan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah.[24]
c.       Kemunduran dan keruntuhan dinasti Saljuq
a.       Kemunduran
Tahun 1092 terdapat tiga pesaing utama dalam perebutan kekuasaan. Salah satu putera Mahmud, segera dinyatakan sebagai Sultan oleh Wazir yang mengganti Nizam al-Muluk dengan bersekongkol dengan ibundanya. Namun para pengikut  Nizam al-Muluk mendukung putera tertua, Barqiyaruq sementara pamanda mereka Tutush, yang sudah berkuasa di Suriah, memutuskan untuk merebut kekuasaan juga. Mahmud dengan segera berhasil disingkirkan. Barqiyaruq memasuki Baghdad dan dinobatkan oleh khalifah bulan Februari 1094, dan setahun kemudian mengalahkan dan menewaskan Tutush, tetapi tidak mampu mengusir putera-putera Tutush dari Damaskus dan Aleppo. Di daerah-daerah lain kekuasaan Barkiyaruq ditentang oleh dua saudara tirinya, Muhammad dan Sanjar.[25] Setelah mengalami masa kemajuan sekitar satu abad, akhirnya pemerintahan Dinasti Bani Saljuq mengalami kemunduran dan kelemahan, yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor interen maupun eksteren, seperti berikut :[26]
a.       Faktor Interen
1)      Perseteruan di internal Dinasti Saljuq, antara saudara, paman, anak dan cucu.
2)      Kaum perempuan mengintervensi urusan-urusan pemerintahan.
3)      Dinasti Saljuq tidak mampu menyatukan daerah-daerah Syam, Mesir dan Iraq di bawah khalifah Bani Abbasiyah.
4)      Kebiasaan hidup mewah dan cenderung berfoya- foya di kalangan keluarga istana dinasti Saljuq.
5)      Adanya pemberontakan dan rombongan dari kelompok Syiah, terutama kelompok Asyasyin, yang sering melakukan teror dan tindakan kekerasan terhadap penguasa Dinasti Saljuq.
b.      Faktor Eksternal
1)      Serangan dari Pasukan Tentara Salib terhadap pemerintahan Dinasti Bani Saljuq, yang dimulai sejak tahun 1096M. Bahkan pada beberapa kali peperangan, pasukan pemerintah Dinasti Bani Saljuq menderita kekalahan.
2)      Kebangkitan kembali kekuasaan para khalifah Bani Abbasiyah, terutama setelah pemerintahan Dinasti Saljuq mengalami kemunduran dan kelemahan. Sehingga para khalifah Bani Abbasiyah hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengambil kembali kekuasaan politik yang dipegang oleh sultan-sultan Dinasti Saljuq, untuk selanjutnya dipegang kembali oleh khalifah Bani Abbasiyah.[27]
b.      Keruntuhan
Keruntuhan Dinasti Bani Saljuq, khususnya Saljuq Raya terjadi pada masa pemerintahan Sultan Tougril Bek ( 1170-1194M ), sultan yang ke-15 dari Saljuq Raya.Ia tewas dibunuh oleh Khawarizmi Syah pada 590H/1194M di kota Naisabur. Selanjutnya, khalifah Daulah Bani Abbasiyah waktu itu yang bernama Khalifah al-Nashir ( 1180-1225 M ) mengembalikan fungsinya sebagai pimpinan politik dari Bani dan pimpinan politik. Dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan Saljuq Raya, sebagai pemerintahan Dinasti Saljuq yang terkuat dari pemerintahan Dinasti Saljuq Rum, yang berkuasa di wilayah Asia Kecil.[28]

Kehadiran Dinasti Saljuk di atas panggung sejarah peradaban Islam ibarat  mentari baru yang terbit kembali di tengah suasana kekuasaan politik di dunia Islam yang sedang dalam kondisi krisis dan terpuruk pada paruh pertama abad ke sebelas. Dalam kondisi kosongnya kekuasaan dominan akibat lemahnya kekhalifan Abbasiyah, maka tampillah kaum Turki Saljuk menguasai keadaan. Kedatangan kaum Turki Saljuk mengantarkan sebuah era baru dan penting dalam sejarah Islam dan kekhalifahan. Sejarah mencatat Dinasti Seljuk sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam Sunni yang ketika itu nyaris tenggelam.
Khalifah Abbasiyah hanyalah sebagai simbolik semata dan tidak lagi memegang dan mengurusi pemerintahan hanya mengurusi masalah pada bidang agama, sedangkan yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dipegang oleh para sultan- sultan saljuq yang dipercaya oleh khalifah Abbasiyah. Madrasah Nizamiyah telah banyak memberikan pengaruh yang besar terhadap massyarakat. Madrasah Nizamiyah didirikan dengan tujuan untuk menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi pemikiran Syiah, dan menyediakan guru- guru Sunni yang cukup untuk mengajarkan faham Sunni.
Ulama- ulama yang berpengaruh pada umumnya adalah ulama yang menganut paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, khususnya aliran Asyariyah. Aliran Asy’ariyah adalah aliran akidah Islam yang sangat meninggikan wahyu dan kekuasaan mutlak Tuhan. Para ulama tersebut sangat menentang filsafat. Bahkan, Imam al-Gazali, seorang ulama yang sangat berpengaruh mengatakan dalam bukunya Tahafat al-Falasifah bahwa bahwa para filosof telah kafir, karena menurut al- Ghazali para pendapat filosof itu banyak yang bertentangan dengan al- Qur’an dan Sunnah.

Sumber Bacaan 
A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT Al Husna, 1997
Abdul Majid Abd al-Futuh Badawi, Tarikh al-Syiyasah wa al-FikriMthlabi al-Wafa, 1988
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997
Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
K. Ali, Sejarah Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Maidir Harun, Sejarah Kebudayaan Islam Di Asia Barat,  Dosen SKI Fak.Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, 2016
Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian dari Tokoh Orietnatlis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani, Jakarta: Taramedia, 2003
Penyusun Dar al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, Jakarta, Kaysa Media, 2011
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Bandung: Pustaka Setia, 2013
Syafiq A.Mughini, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, Jakarta: Logos, 1997



[1]Maidir Harun, Sejarah Kebudayaan Islam Di Asia Barat, ( Dosen SKI Fak.Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, 2016 ), h. 128
[2]Penyusun Dar al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, (Jakarta, Kaysa Media, 2011), h.  95-96
[3]Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 168
[4]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 278
[5]Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani  (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 358
[6]K. Ali, Sejarah Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 409
[7]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 125
[8]Syafiq A.Mughini, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 26
[9]bid, h. 28
[10]Maidir Harun, op.cit, h. 130
[11]Ibid, h. 130
[12]Ibid, h. 130
[13]Ibid, h. 131
[14]Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 73
[15]A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT Al Husna, 1997), h. 336
[16]Maidir Harun, op.cit, h. 138
[17]Ibid, h. 139
[18]Ibid, h. 139
[19]Ibid, h. 135
[20]Abdul Majid Abd al-Futuh Badawi, Tarikh al-Syiyasah wa al-Fikri, ( Mthlabi al-Wafa1988 ),h. 179
[21]Ahmad Syalabi, op.cit, h. 13
[22]Syafiq A.Mughini, op.cit, ( Jakarta: Logos, 1997 ), h. 13
[23]Maidir Harun, op.cit, h. 139
[24]Ibid, h. 138
[25]Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 250
[26]Ibid, h. 140
[27]Ibid, h. 140
[28]Ibid, h. 141

No comments:

Post a Comment

MU’TAZILAH

Pendahuluan Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan...