![]() |
ilustrasi |
Pada paruh pertama abad ke-11 panggung sejarah
kekuasaan dan suasana politik didunia Islam sedang dalam kondisi kritis.
Khalifah Abbasiyah hanyalah pemegang kekuasaan bayangan, dan hampir seleruh
imperiumnya telah terpecah Suriyah Utara
dan Mesopotamia berada dalam cengekraman para kepala suku yang saling
berperang, yang sebagaian diantara mereka berhasil mendirikan sejumlah dinasti.
Persia, Transoxiana, dan sejumlah kawasan di Timur, juga selatan diperebutkan
oleh para pangeran Buwaihi Ghaznawi atau dikuasai oleh beberapa raja kecil dan
satu sama lain menunggu kesempatan untuk saling menikmati leher pesaingnya.
Anarki politik dan militer terjadi dimana-mana. Hal ini diperparah dengan
konflik ideologi Sunni dan Syiah yang semakin memanas sehingga mengakibatkan
kondisi Islam tampak semakin terpuruk, bahkan jatuh remuk. Dalam kondisi
demikian tampilah kaum Turki Saljuk mengantarkan sebuah era baru dan penting
dalam sejarah Islam dan Kekhalifahan.
a.
Asal usul dan latar belakang sejarah
berdirinya dinasti Saljuq
Asal-usul
Dinasti Saljuq dikaitkan dengan suku Ghuz di wilayah Turkistan, di bawah
pimpinan Saljuq bin Tuqaq. Sesuai dengan kebiasaan hidup bangsa Turki yang nomaden,
Saljuq bin Tuqaq dan para pengikut atau keluarganya hidup berpindah antara
Khurasan, Bukhara Isfahan dan Marwa. Perpindahan tempat tinggal ini utamanya
disebabkan oleh faktor ekonomi, yaitu sumber kehidupan dan tempat berternak.
Dari Marwa, Saljuq bin Tuqaq membawa anggota suku dan pengikutnya ke wilayah
Eay dan Khawarizmi di Asia Tengah.[1]
Saljuk dikenal sebagai seorang orator
ulung dan dermawan oleh kerena itu ia disukai dan taati oleh masyarakat, dilain
pihak istri raja Turki khawatir jika saljuk melakukan pemberontakan, karenanya
ada rencana untuk membunuh saljuk secara licik, dan saljuk sendiri mengetahui
rencana jahat tersebut lalu ia mengumpulkan pasukannya dan membawa mereka ke
kota Janad, mereka tinggal disana dan
bertetangga dengan kaum muslimin di negeri Turkistan, maka ketika saljuk
melihat prilaku orang Islam yang baik dan berakhalaq luhur ia akhirnya memeluk
agama Islam dan kabilah Ghuzpun akhirnya memeluk Islam. Dan sejak itulah saljuk
mulai melakukan perlawanan dan peperangan melawan orang-orang Turki yang kafir,
akhrinya iapun mampu mengusir bawahan raja Turki dan menghapus pajak atas kaum
muslimin.[2]
Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin
Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Ghuz dari Turki yang menguasai Asia Barat Daya
pada abad ke-11 yang berada pada zaman Sultan Mahmud Sabaktakin.[3]
Dan akhirnya mendirikan sebuah
kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina dan sebagian
besar Iran. Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas menandai awal kekuasaan
suku bangsa Turki di kawasan Timur Tengah hingga abad ke-13.[4]
Dalam kajian historis para sejarawan menyebutkan bahwa suku Saljuk memeluk agama Islam pada sekitar akhir abad ke- 4 H/ 10 M, dengan barmazhab
Sunni.[5]
Silsilah kelurga
Dinasti Saljuk bisa perinci sebagai berikut ;[6]
1.
Saljuk Ibnu Tuqaq
memiliki dua orang putra yaitu Mikail dan Arselan Payghu namun dalam leteratur lain disebutkan bahwa Saljuk
memiliki empat orang anak yaitu Arselan, Mikail, Musa dan Yunus.
2.
Mikail memiliki dua
orang putra yaitu Chager Bek Daud dan Tughril Bek.
3.
Chager Bek Daud
memiliki dua orang putra yaitu Alp Arselan dan Kaward.
4.
Alp Arselan memiliki
dua orang putra yaitu Malik Syah dan
Tutush.
5.
Malik Syah memiliki
empat orang putra yaitu Bargiyaruk, Muhammad, dan Sinyar serta Mahmud.
Dalam sejarahnya Imperium Saljuk dibagi menjadi
beberapa cabang :
1.
Saljuk Raya
Saljuk Raya adalah yang menguasai Irak, Persia
Barat dan Syiria, dan inilah yang akan dibicarakan karena Saljuk bercabang
banyak dan tidak hanya menguasai wilayah kebudayaan Arab saja. Saljuk Raya
adalah yang lebih dekat kepada wilayah kebudayaan Arab, walaupun luas
kekuasaannya meliputi wilayah-wilayah non Arab. Diantara para sultan Saljuk
yang terkenal ialah Alp Arslan dan Malik Syah dengan menterinya yang terkenal
ialah Nizamul Mulk. Alp Arslan mengembangkan wilayah kekuasaannya hingga ke
Byzantium dengan memaksa Kasiarnya untuk membayar uang tebusan yang tinggi bagi
kaisar yang tertawan. Hijaz yang di dalamnya berada tempat suci Makkah dan
Madinah dirampasnya pula dari tangan Fatimiyah, ia terbunuh dalam peperangan di Oxus. Malik Syah sebagai
anak Alp Arslan dan penggantinya, mengembangkan wilayah lebih luas lagi, yang
meliputi Afganistan hingga ke laut Tengah dan dari Asia kecil hingga ke Yaman.
Pusat
kekuasaan Saljuk adalah Ray dan Isfahan, sedangkan kekuasaan para
khalifah Abbasiyah tetap di Baghdad. Di kota tersebut terakhir itu dan di
Nishapur pada masa Malik Syah dikembangkan madrasah Nizamiah yang dipelopori
oleh menteri Nizamul Malik, disamping mendirikan Hanafite School yang diambil
dari nama salah seorang imam yang empat, yakni imam Abu Hanifah. Dinasti Saljuk
berhasil mengembalikan reputasi Abbasiyah yang bermazhab Sunni dari pemaksaan
kehendak para pemimpin Bani Buwaihi yang Syi’i. pada masanya hidup para tokoh
ilmuan Muslim seperti imam al-Ghazali yang pernah memimpin madrasah Nizamiyah,
Umar Khayam dan lain-lain.[7]
2.
Saljuk Iraq
Setelah wafatnya Malik Syah ibn Alp Arselan pada
tahun 511 / 1117, mulailah muncul perpecahan diantara jerabat Saljuk.
Perpecahan tersebut ditandai dengan munculnya kesultanan-kesultanan kecil di
wilayah Saljuk Raya dan berusaha memisahkan diri dari kekuasaan Saljuk Raya di
Iran. Di wilayah Irak Mahmud adalah penguasa yang pertama kali memisahkan diri,
ia melepaskan diri dari kekuasaan pamannya, Sultan Sanjar melalui pertempuran.
Pemisahan wilayah Irak dari kekuasaan Saljuk raya secara independen akhirnya
dipenuhi dengan menjadikan Mahmud sebagai waliyal-ahd
untuk wilayah yang sama. Sepeninggal Mahmud, gelar Sultan jatuh kepada
puteranya Dawud (1131-1132), Tughril II (1132-1134), Mas’ud (1134-1152), Malik
Syah (1152-1161), Arselan Syah (1161-1175) dan Tughril III (1175-1194). Dengan kematian
Sultan Mahmud pada tahun 525/1130 di kota Hamadan, persaingan politik menyeruak
kepermukaan. Persaingan politik tersebut melibatkan para amir dan malik bangsa
Saljuk.[8]
3.
Saljuk Syria (1078-1117)
Penguasa Saljuk yang berada di Syam atau Syria
merupakan keturunan Taj al-Daulah Tutusy Alp Arslan, ia sendiri telah
memerintah disana sejak tahun 470/1077, atas nama Malik Syah. Pada akhirnya
Malik Syah menyerahkan kepemimpinan politik kepada mereka dan memperbolehkan
mereka untuk menaklukkan wilayah sekitarnya, yang sebelumnya terpusat hanya di
kota Damaskus. Tutusy sendiri menaklukkan Damaskus pada tahun 471/1078 melalui
pertempuran sengit. Setelah Malik Syah meninggal dunia Tutusy memobilisasi
tentaranya dalam jumlah besar untuk menaklukkan kota Halb.[9]
4.
Saljuk Kirman
Keturunan Saljuk di Kirman disebut juga
Qawurtiyun, sebutan tersebut diambil dari pendiri kerajaan di wilayah ini yaitu
“Imad al-Din Kara Arselan Qawurt ibn Chaghri Beg Dawud Ibn Mikail. Sedangkan
kaitan dengan dinasti Saljuk adalah Alp Arselan ibn Chaghri Beg.
5.
Saljuk Rum (1077-1302)
Kerajaan Turki Saljuk di Rum (Asia kecil) muncul
pada tahun 1075. setelah tiga puluh tahun kemunculan Turki Saljuk Raya si Iran,
pendirinya adalah Abu Fawaris Sulaiman ibn Qutlumisy ibn Israel ibn Saljuk.
Pada saat Bani Saljuq dipimpin oleh Tougrel Bek bin
Arselan, kekuatan militer dan pengaruh Bani Saljuq mulai meningkat kembali,
lebih-lebih setelah Sultan Mahmud al-Gaznawi meninggal dunia. Bahkan,
setelah Sultan Mahmud Al-Gaznawi meninggal dunia, pemerintahan Dinasti Gaznawi
mulai lemah, karena perpecahan dan konflik internal serta serangan dari luar.
Dalam kondisi seperti itu, Khalifah al-Qaim dari Daulah Bani Abbasiyah di
Bagdad sedang dihadapkan kepada persoalan yang pelik dan berat. Yaitu munculnya
pemberontakan panglima militer Dinasti Buwaihi yang bernama al-Basyasyiri yang
berpaham Syi‟ah.[10]
Ada penulis sejarah yang mengatakan bahwa Khalifah
al-Qaim, disingkirkan oleh al-Basyasyiry dari kota Bagdad ke kota Tikrit, yang
terletak di sebelah utara kota Bagdad. Sebenarnya, khalifah-khalifah Daulah
Bani Abbasiyah sudah tidak senang dengan sultan-sultan Bani Buwaihi yang mulai
melakukan syi‟ahisasi dengan berbagai cara, termasuk dengan menjalin hubungan
kerjasama dengan pemerintahan Daulah Fatimiyah di Mesir. Akhirnya,
Khalifah al-Qaim meminta bantuan kepada Tougrel Bek bin Arselan dari Bani
Saljuq untuk mengatasi masalah tersebut.[11]
Setelah
mempelajari masalah yang dihadapi oleh Khalifah al-Qaim di Bagdad, Tougrel Bek
mengabulkan permintaan khalifah, apalagi antara Khalifah al-Qaim dari segi
akidah, yaitu paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah/Suni. Maka Tougrel Bek membawa
anggota pasukan militernya menuju dan memasuki kota Bagdad pada tahun 1055
M/447 H. Pasukan Tougrel Bek dihadang oleh Panglima al-Basyasyiri dan pasukannya.
Terjadilah peperangan hebat di Bagdad dan sekitarnya. Akhirnya, Tougrel Bek dan
pasukannya berhasil menumpas dan mengalahkan pasukan al-Basyasyiri yang
memberontak kepada Khalifah Al-Qaim. Panglima al-Basyasyiri sendiri tewas.
Selanjutnya, Tougrel Bek berusaha menciptakan keamanan dan stabilitas kota
Bagdad. Sultan Bani Buwaihi yang terakhir, yaitu Sultan Malik al-Rahim (
1048-1055 M ) diusir keluar kota Bagdad.[12]
Atas
keberhasilan tersebut, maka khalifah Al-Qaim, yang memerintah dari 1031 sampai
dengan 1075 M memberikan pengakuan dan legitimasi kepada pemerintahan dan
kepemimpinan Tougrel Bek pada tahun 1055 M. Dengan demikian pemerintahannya
sah secara syar‟iy, karena telah mendapat pengakuan dari khalifah. Tougrel Bek
diberi gelar oleh khalifah dengan sebutan Yamin al-Daulah. Maka sejak
saat itulah resminya berdiri Dinasti Bani Saljuq, secara defacto dan de
yure. Walaupun kenyataannya Bani Saljuq telah eksis dan tampil sejak masa
Saljuq bin Tuqaq. Tetapi, eksistensi secara resmi baru dimulai sejak mendapat
pengakuan dan legitimasi khalifah Al-Qaim- dari Daulah Bani Abbasiyah tahun
1055 M.[13]
b.
Perkembangan peradaban Islam pada masa
dinasti Saljuq
1)
Politik dan Pemerintahan
Pemimpin Saljuk terakhir Tughril Bek berhasil
mengalahkan Mas’ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Gaznawiyah pada tahun 429
H/1036 M dan memaksanya meninggalkan wilayah Khurasan. Setelah keberhasilan
tersebut Thugril memproklamasikan berdirinya Dinasti Saljuk. Pada tahun
432/1040 dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad.
Disaat kepemimpinan Thugril Bek inilah Dinasti Saljuk memasuki Baghdad
menggantikan posisi Dinasti Buwaihi. Sebelumnya Tughril berhasil merebut daerah-daerah
Marwa dan naisabur dari kekuasaan Gaznawiyah, Balkh, Jurjan, tabaristan,
Kawarizm, Ray, Isfahan.[14]
Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai
pusat pemerintahan. Tughril Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat
pemerintahannya. Pada masa Alp Arselan perluasan wilayah yang telah dimulai
oleh Thugril Bek dilanjutkan ke arah barat samapi pusat kebudayaan Romawi di
Asia kecil, yaitu Bizantium. Pada masa pemerintahan Malik Syah ia berhasil
menaklukkan Bukhara pada tahun 482 H.[15]
Para penguasa dinasti Saljuk mengembalikan jabatan perdana menterinya (wazir)
dan jabatan ini membawahi Departemen yang sebelumnya dihapus oleh Bani Buwaihi.
2)
Ekonomi dan Perdagangan
Masa pemerintahan Alp Arselan, ekonomi dan
perdagangan mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan
Malik Syah bersama perdana menterinya Nizam al-Muluk. Nizam al-Muluk inilah
yang memprakarsai bidang kesejahteraan masyarakat dibangun berbagai fasilitas
pusat perekonomian dan pusat-pusat perdagangan seperti pasar-pasar rakyat di
berbagai pusat kota Baghdad.
Stabilitas, keamanan dan ketenteraman yang dijamin
oleh kemampuan militer serta kecakapan administrasi membuat kegiatan-kegiatan
ekonomi dapat dilaksanakan dengan maksimal sehingga dapat menjadikan rakyat
Bani Saljuk makmur, terutama pada masa pemerintahan Malik Syah. Beliau dengan
giat melakukan pembangunan untuk sarana perekonomian, seperti
jembatan-jembatan, dan perbaikan pelabuhan serta jalan raya.
3)
Sosial Kemasyarakatan
Masyarakat
yang berada di bawah pemerintahan Dinasti Bani Saljuq sangat heterogen, baik
dilihat dari sudut etnis maupun kepercayaan agama. Unsur-unsur masyarakat
terdiri dari keturunan bangsa Turki, Arab, Persia, Mongol dan lain-lainnya.
Masing-masing memiliki adat-istiadat dan budaya sendiri, yang kadang-kadang
berbeda antara satu dengan yang lainnya.[16]
Di
samping itu, masyarakat Dinasti Bani Saljuq juga berbeda-beda keyakinan
agamanya, ada yang memeluk agama Islam, sebagai kelompok mayoritas. Tetapi ada
juga yang menganut agama Kristen, Yahudi, Majusi, Zeroaster dan kepercayaan
–kepercayaan lainnya. Di kalangan umat Islam sendiri, juga terdapat perbedaan,
yaitu aliran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dan Syiah.[17]
Kedudukan
perempuan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuq lebih diutamakan sebagai
ibu rumah tangga. Oleh sebab itu, poligami dibolehkan, selama seorang lelaki
yang akan berpoligami tersebut mampu adil dan mampu memberi nafkah
isteri-isterinya tersebut, yang dibatasi hanya maksimal empat orang. Anak-anak
yang dilahirkan dari suatu perkawinan, keturunannya ditentukan menurut garis
keturunan ayahnya ( patrilineal ).[18]
4)
Pendidikan dan Iptek
Masa
pemerintahan Sultan Malik Syah ( 1072-1092 M ), sultan Dinasti Saljuq Raya
dapat dikatakan sebagai masa kemajuan Bani Saljuq dalam bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan. Sultan mengangkat wazirnya yang bernama Nizam al-Muluk. Wazir
ini sangat peduli dan perhatian kepada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Atas
izin dan restu Sultan Malik Syah ia mendirikan Madrasah Nizamiyah di kota
Bagdad dan memiliki cabang di beberapa kota penting lainnya di dalam wilayah
pemerintahnnya. Dari Madrasah Nizamiyah ini lahirlah ulama-ulama Suni yang
terkenal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, terutama bidang ilmu
pengetahuan naqliyah, sesuai dengan paham akidah Ahlu al-Sunnah wa
al-Jamaah.[19]
madrasah Nizamiyah didirikan dengan tujuan: pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk
menghadapi pemikiran Syiah, kedua, menyediakan guru guru Sunni yang
cukup untuk untuk mengajarkan faham Sunni dan menyebarkanya ke tempat lain, ketiga,
membentuk kelompok pekerja Sunni untu berpastisipasi dalam menjalankan
pemerintahan khususnya dibidang peradilan dan manajemen.[20]
Banyak
sekali ulama yang terkenal pada masa pemerintahan Dinasti Saljuq, terutama yang
mengajar pada Madrasah Nizamiyah, di antaranya :
a.
Imam Abu Hamid
al-Gazali al-Hujjat al-Islam
Ia seorang ulama yang ahli
tasawuf, akidah dan anti filsafat. Di
antara buku karangannya yang terkenal dan berpengaruh sampai sekarang adalah :
1)
Ihya
Ulum al-Din
2)
Tahafat
al-Falasifat
3)
Al- Iqtishad
fi al-I‟tiqad
4)
Al- Risalah
al-Qudusiyah fi al-I‟tiqad.
5)
Mizan
al- Aqli.
6)
Maqashid
al- Falasifah.
7)
Mi‟yar
al- Uqul.
8)
Al- Munqiz
min al-Dhalal
b.
Imam Abu
Hasan Ali Ibn Ismail al-Asy’ary
Abu Hasan al-Asy‟ary adalah seorang ulama yang gigih
berjuang untuk mengembangkan paham akidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dan
menentang paham Mu‟tazilah. Padahal, selama berpuluh tahun menganut paham
mu‟tazilah. Sehingga pada masa Dinasti Saljuq paham akidah yang dikembangkannya
sangat berpengaruh di kalangan masyarakat, sehingga para pengikutnya disebut
dengan golongan Asy‟ariyah. Di
antara buku karangan Imam Abu Hasan al-Asy‟ary adalah sebagai berikut :
1)
Buku
al-Fushul.
2)
Buku
al-Luma‟.
3)
Buku
Idhah al-Burhan.
4)
Buku
Al-Tabyin an Ushul al-Din.
5)
Buku
al-Syarhu wa al-Tafshil fi al-Radd ala Ahl al-Ifk wa al-Tadhlil.
6)
Buku
Kitab al-Qiyas.
7)
Buku
Kitab al-Ijtihad.
8)
Buku Khabar
al-Wahid
5)
Kesenian
Kaum Saljuk sangat suka kepada bangunan-bangunan
yang besar, ukiran-ukiran yang cantik dan gambar-gambar yang warna-warni penuh
hiasan. Benda-benda seperti ini begitu menarik pandangan mereka, menyenangkan
perasaan serta mengisi kekosongan yang terdapat di desa-desa dan padang pasir.
Hasil-hasil seni ini sangat digemari di zaman mereka. Pada umumnya kaum Saljuk
itu amat menyenangi hasil-hasil seni yang indah
dan memelihara dengan baik, sultan-sultan memberi perlindungan kepada
hasil-hasil seni itu dan memberikan motivasi kepada penciptanya untuk terus
berkarya. Bangunan-bangunan Saljuk di Isfahan merupakan bukti minat mereka terhadap
bidang bangunan. Mereka telah mendirikan tiang-tiang yang tinggi untuk membuat
bangunan-bangunan yang besar.[21]
6)
Pemikiran dan Filsafat
Bangsa Saljuk sebagaimana bangsa Turki sesudahnya,
merupakan komunitas Sunni yang militan, karena itu dikemudian hari merupakan
pembela khilafah Sunni dari kekuatan yang hendak menghancurkannya.[22]
Madrasah Nizamiyah didirikan dengan tujuan untuk menyebarkan pemikiran Sunni
untuk menghadapi pemikiran Syiah, dan menyediakan guru-guru Sunni yang cukup
untuk mengajarkan faham Sunni.
Ulama- ulama yang berpengaruh pada umumnya adalah ulama
yang menganut paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‟ah, khususnya aliran Asy‟ariyah. Aliran
Asy‟ariyah adalah aliran akidah Islam yang sangat meninggikan wahyu dan
kekuasaan mutlak Tuhan. Para ulama tersebut sangat menentang filsafat. Bahkan,
Imam al-Gazali, seorang ulama yang sangat berpengaruh mengatakan dalam bukunya Tahafat
al-Falasifah bahwa bahwa para filosof telah kafir, karena berkeyakinan
bahwa :[23]
a)
Alam kekal dalam arti
tak bermula.
b)
Tuhan tidak mengetahui
perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
c)
Pembangkitan jasmani
tidak
7)
Pemahaman Keagamaan
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah
dinasti Saljuk berkuasa, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama
dikembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-orang Syiah. Dinasti Saljuk
terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syiah dan
mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Pada
umumnya ulama-ulama pada masa Dinasti Saljuq ini menentang dan menolak paham
Syiah dan Mu‟tazilah dan aliran-aliran lain yang tidak sesuai dengan paham Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama‟ah.[24]
c. Kemunduran
dan keruntuhan dinasti Saljuq
a.
Kemunduran
Tahun 1092
terdapat tiga pesaing utama dalam perebutan kekuasaan. Salah satu putera
Mahmud, segera dinyatakan sebagai Sultan oleh Wazir yang mengganti Nizam
al-Muluk dengan bersekongkol dengan ibundanya. Namun para pengikut Nizam al-Muluk mendukung putera tertua,
Barqiyaruq sementara pamanda mereka Tutush, yang sudah berkuasa di Suriah,
memutuskan untuk merebut kekuasaan juga. Mahmud dengan segera berhasil
disingkirkan. Barqiyaruq memasuki Baghdad dan dinobatkan oleh khalifah bulan
Februari 1094, dan setahun kemudian mengalahkan dan menewaskan Tutush, tetapi
tidak mampu mengusir putera-putera Tutush dari Damaskus dan Aleppo. Di
daerah-daerah lain kekuasaan Barkiyaruq ditentang oleh dua saudara tirinya,
Muhammad dan Sanjar.[25]
Setelah mengalami
masa kemajuan sekitar satu abad, akhirnya pemerintahan Dinasti Bani Saljuq
mengalami kemunduran dan kelemahan, yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik
faktor interen maupun eksteren, seperti berikut :[26]
a.
Faktor Interen
1)
Perseteruan di
internal Dinasti Saljuq, antara saudara, paman, anak dan cucu.
2)
Kaum perempuan
mengintervensi urusan-urusan pemerintahan.
3)
Dinasti Saljuq tidak
mampu menyatukan daerah-daerah Syam, Mesir dan Iraq di bawah khalifah Bani
Abbasiyah.
4)
Kebiasaan hidup mewah
dan cenderung berfoya- foya di kalangan keluarga istana dinasti Saljuq.
5)
Adanya pemberontakan
dan rombongan dari kelompok Syiah, terutama kelompok Asyasyin, yang sering
melakukan teror dan tindakan kekerasan terhadap penguasa Dinasti Saljuq.
b.
Faktor Eksternal
1)
Serangan dari Pasukan
Tentara Salib terhadap pemerintahan Dinasti Bani Saljuq, yang dimulai sejak
tahun 1096M. Bahkan pada beberapa kali peperangan, pasukan pemerintah Dinasti
Bani Saljuq menderita kekalahan.
2)
Kebangkitan kembali kekuasaan
para khalifah Bani Abbasiyah, terutama setelah pemerintahan Dinasti Saljuq
mengalami kemunduran dan kelemahan. Sehingga para khalifah Bani Abbasiyah hanya
menunggu waktu yang tepat untuk mengambil kembali kekuasaan politik yang
dipegang oleh sultan-sultan Dinasti Saljuq, untuk selanjutnya dipegang kembali
oleh khalifah Bani Abbasiyah.[27]
b.
Keruntuhan
Keruntuhan
Dinasti Bani Saljuq, khususnya Saljuq Raya terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Tougril Bek ( 1170-1194M ), sultan yang ke-15 dari Saljuq Raya.Ia tewas
dibunuh oleh Khawarizmi Syah pada 590H/1194M di kota Naisabur. Selanjutnya,
khalifah Daulah Bani Abbasiyah waktu itu yang bernama Khalifah al-Nashir (
1180-1225 M ) mengembalikan fungsinya sebagai pimpinan politik dari Bani dan
pimpinan politik. Dengan demikian berakhirlah masa pemerintahan Saljuq Raya,
sebagai pemerintahan Dinasti Saljuq yang terkuat dari pemerintahan Dinasti
Saljuq Rum, yang berkuasa di wilayah Asia Kecil.[28]
Kehadiran
Dinasti Saljuk di atas panggung sejarah peradaban Islam ibarat mentari baru yang terbit kembali di tengah
suasana kekuasaan politik di dunia Islam yang sedang dalam kondisi krisis dan
terpuruk pada paruh pertama abad ke sebelas. Dalam kondisi kosongnya kekuasaan
dominan akibat lemahnya kekhalifan Abbasiyah, maka tampillah kaum Turki Saljuk
menguasai keadaan. Kedatangan kaum Turki Saljuk mengantarkan sebuah era baru
dan penting dalam sejarah Islam dan kekhalifahan. Sejarah mencatat Dinasti
Seljuk sebagai kerajaan yang mampu menghidupkan kembali kekhalifahan Islam
Sunni yang ketika itu nyaris tenggelam.
Khalifah
Abbasiyah hanyalah sebagai simbolik semata dan tidak lagi memegang dan
mengurusi pemerintahan hanya mengurusi masalah pada bidang agama, sedangkan
yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dipegang oleh para sultan- sultan
saljuq yang dipercaya oleh khalifah Abbasiyah. Madrasah
Nizamiyah telah banyak memberikan pengaruh yang besar terhadap massyarakat. Madrasah Nizamiyah didirikan dengan tujuan
untuk menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi pemikiran Syiah, dan
menyediakan guru- guru Sunni yang cukup untuk mengajarkan faham Sunni.
Ulama- ulama yang berpengaruh pada umumnya adalah ulama
yang menganut paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, khususnya aliran Asy’ariyah. Aliran Asy’ariyah
adalah aliran akidah Islam yang sangat meninggikan wahyu dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Para ulama tersebut sangat menentang filsafat. Bahkan, Imam al-Gazali,
seorang ulama yang sangat berpengaruh mengatakan dalam bukunya Tahafat
al-Falasifah bahwa bahwa para filosof telah kafir, karena menurut al- Ghazali
para pendapat filosof itu banyak yang bertentangan dengan al- Qur’an dan Sunnah.
Sumber Bacaan
A. Syalaby, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT Al Husna, 1997
Abdul Majid Abd al-Futuh
Badawi, Tarikh al-Syiyasah wa al-Fikri, Mthlabi al-Wafa, 1988
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta:
Logos, 1997
Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000
K. Ali, Sejarah Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996
Maidir Harun, Sejarah Kebudayaan Islam Di
Asia Barat, Dosen SKI Fak.Adab dan
Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, 2016
Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian dari Tokoh
Orietnatlis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990
Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi
Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani, Jakarta: Taramedia, 2003
Penyusun
Dar al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, Jakarta, Kaysa Media,
2011
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
2010
Sulasman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Bandung:
Pustaka Setia, 2013
Syafiq
A.Mughini, Sejarah Kebudayaan Islam di
Kawasan Turki, Jakarta: Logos, 1997
[1]Maidir Harun, Sejarah
Kebudayaan Islam Di Asia Barat, ( Dosen SKI Fak.Adab dan Humaniora IAIN
Imam Bonjol Padang, 2016 ), h. 128
[4]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 278
[5]Muhammad Iqbal dan William Hunt,
Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 358
[6]K. Ali, Sejarah Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 409
[7]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 125
[8]Syafiq A.Mughini, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta: Logos, 1997),
h. 26
[10]Maidir Harun, op.cit, h.
130
[14]Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
h. 73
[15]A. Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT Al Husna, 1997), h. 336
[16]Maidir Harun, op.cit, h.
138
[23]Maidir Harun, op.cit, h.
139
[24]Ibid,
h. 138
[25]Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1990), h. 250
[26]Ibid,
h. 140
[27]Ibid,
h. 140
[28]Ibid,
h. 141
No comments:
Post a Comment