PENDAHULUAN
Salah satu ilmu yang dapat membantu
terwujudnya manusia berkualitas adalah ilmu tasawuf, ilmu tersebut satu mata
rantai dengan ilmu- ilmu yang lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang
tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tasawuf
dinamakan juga dengan ilmu batin sebagaimana syaikh Al- Manawi dalam kitab faed
al- qodir dalam menjelaskan hadist Nabi saw” ilmu itu dua macam, ilmu yang ada
didalam kalbu itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah
adalah lmu hujjah/ hukum, atas anak cucu Adam.
Ilmu batin yang keluar dari qalbu adalah
tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu yang
dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan
diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu Syari’ah.Dari penjelasan diatas,
dapat dipahami bahwa tasawuf adalah satu dari ilmu- ilmu ke Islaman yang begitu
menarik untuk dikaji. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan tentang” tasawuf
, asal usul dan Tasawuf Sunni (
Rabi’ah Al- Adawiyah, Zu Al-Nun Al- Misri, dan Al- Ghazali).
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Tasawuf
1.
Asal
Usul Tasawuf
Istilah
tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad ke-dua
Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari kesalehan asketis atau para
zahid yang mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan
kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan
pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan
duniawi.[1] Pola hidup kesalehan yang demikian
merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat.
Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu
yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat
untuk beribadah. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-dua
Hijriyah. Memasuki abad ke-tiga Hijriyah sudah terlihat adanya
peralihan dari asketisme Islam ke sufisme. Tetapi menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf mengatakan bahwa embrio
atau benih tasawuf dalam dunia Islam sudah Nampak dalam diri Nabi Muhammad
SAW., baik jika melihat aspek kehidupan, akhlak serta ibadah Beliau.[2]
Untuk melihat lebih jauh
bagaimana munculnya tasawuf pada masa ini, di uraikan kehidupan beberapa
sahabat nabi sebagai berikut :
a.
Kehidupan
Khulafa’ al-Rasyidin
1)
Abu
bakar as-Siddiq
Sebelum beliau masuk Islam ia adalah seorang pedagang
besar yag jujur di zamannya. Setelah ia memeluk agama Islam, maka dia berstatus
donatur tetap dalam semua aktifitas agama, maka semua kekayannya disumbangkan
demi kepentingan dan syiarnya agama Islam. Kejujuran dan kesucian hatinya
menyebabkan beliau dapat mendalami jiwa dan semangat Islam lebih dari yang
didapat para muslimin yang lain.[3]
2)
Umar
bin Khattab
Beliau memiliki kewibawaan dan kharismatik yang kuat,
baik sebelum dan sesudah masuk Islam. Dan sebelum dan sesudah menjabat
khalifah, beliau selalu tampil dengan bersahaja. Beliau dikenal sangat adil,
mempunyai keberanian yang kuat, dekat dengan kalangan bawah, dan sangat takut
mengambil harta kekayaan negara (amanah). Beliau adalah profil pemimpin yang
sejati dan sukses.[4]
3)
Usman
bin Affan
Beliau adalah konglomerat
dizamannya, ia selalu tampil sebagai penyandang dana, beliau rela menyerahkan
sebahagian besar harta bendanya demi perjuangan Islam, beliau selalu
membebaskan budak-budak yang teraniaya oleh orang-orang kafir yang ditebus
dengan hartanya sendiri.[5]
4)
Ali bin
Abi Thalib (w. tahun 40 H)
Beliau yang paling zuhud dalam
hidupnya, paling luas wawasannya tentang ilmu pengetahuan Beliau sangat luhur
budi pekertinya, terkenal kesalehannya, dan juga kebersihan jiwanya.[6]
b.
Kehidupan
Para Ahli Suffah
1)
Salman al-Frisiy
Dikalangan ahli tasawuf Salman
al-Farisy di kenal sebagai seorang sahabat yang hidupnyazuhud, suka
mengembara dan hidup dalam kemiskinan, beliau di anggap sebagai ahli Suffah yang dikarunai ilmu-ilmu ladunni yang dalam.[7]
2)
Abu Zar
al-Gifariy (w. 22 H)
Salah satu sahabat Nabi yang paling zahid sabar adalah Abu Zar
al-Gifariy. Beliau tidak pernah merasa menderita bila ditimpa musibah, senang
menerima cobaan, dan tidak pernah memiki apa-apa, dan tidak dimiliki oleh apa-apa.
Abu Zar al-Gifariy menganggap cobaan itu sebagai perhatian Tuhan
kepadanya, sehingga ia selalu bersyukur.[8]
Dari uraian di atas, maka asal
usul tasawuf abad ini yaitu pada masa Nabi, khulafa’al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah, nampaknya istilah penggunaan
tasawuf untuk kehidupan rohani memang belum ada, tetapi tidak bisa di pungkiri
faktanya bahwa Nabi dan para sahabatnya adalah praktisi yang di jadikan teladan
para sufi sesudahnya. Dengan demikian kehidupan Nabi
dalam segala hal di anggap, sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan di kembangkan
oleh para sahabat khulafa’ al-Rasyidin dan ahlu Suffah yang dianggap sebagai
pelaku-pelaku ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan rohani seperti yang
dicontohkan oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang shaleh dan
orang-orang sufi abad berikutnya.
2.
Pengertian
Tasawuf
Secara Etimologis,
Tasawuf banyak diartikan oleh para ahli, sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf
berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid nabawi yang di
tempati oleh sebagian sahabat anshar, ada pula yang mengatakan berasal dari
kata shaf yang berarti barisan, shafa yang berarti bersih atau
jernih dan shufanah yakni nama kayu yang bertahan di padang pasir.[9]
Sedangkan menurut
ulama sufi, tasawuf adalah latihan- latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syaikh Ibnu Atha’illah
tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah,
senantiasa melakukan perintahnya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya
selalu bersama- sama dan berkekalan dengan-Nya secara bersungguh- sungguh.[10]
Adapun tentang definisi tasawuf secara terminologi yang di kemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, di antaranya adalah[11] :
a. Bisyri bin Haris mengatakan bahwa Tasawuf
adalah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
b. Sahl at-Tustari tasawuf adalah orang yang
bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia
dalam menghadap Allah, baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
c. Al-Junaid al-Baghdadi tasawuf adalah membersihkan
hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariah (kemanusiaan),
menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu kebenaran dan mengikuti syari’at
Rasulullah Saw.
d. Abu Qasim Abdul Karim
al-Qusyairi tasawuf adalah menjabarkan ajaran-ajaram Al-Qur’an dan Sunnah,
berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat
dan menghindari sifat meringankan terhadap ibadah.
e. Abu Yazid al-Bustami tasawuf
adalah melepaskan diri dari perbuatan tercela, menghiasi diri dengan akhlak
yang terpuji dan mendekatkan diri kepada Allah.
f. Ma’ruf al-Karkhi tasawuf adalah mengambil hakikat dan
Tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.
g. Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatta
mengatakan tasawuf adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan jiwa, sifat- sifat
tercela, dan sifat terpuji.
h. Syaikh Abdus Somad Al- Falimbani di dalam kitabnya Siyarus
Salikin syarah dari kitab Ihya Umuluddin Al- Imam Al- Ghazali
berkata bahwa ilmu tasawuf itu ilmu yang memberi manfaat dunia dan akhirat karena
ilmu tasawuf itu telah terhimpun di dalamnya ilmu Usuluddin, ilmu Fiqih, dan
ilmu Tariqat.[12]
Apabila melihat
beberapa definisi di atas, maka dapat di peroleh ungkapan yang singkat dan
padat yang mencakup dua segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang
saling menunjang dalam mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang
kedua adalah tujuan. Cara, di antaranya melaksanakan berbagai rangkaian
peribadatan, latihan-latihan rohani seperti zuhud. Sedangkan
tujuannya ialah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang puncaknya ialah
penyaksian (masyadah).
B. Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang
para penganutnya mendasari tasawuf mereka dengan Al- Qur’an dan sunnah, serta
mengaitkan keadaan ( ahwal )
dan tingkatan (maqomat) rohaniah mereka pada kedua sumber tersebut.[13] MAdapun
ciri- ciri tasawuf sunni adalah sebagai berikut[14] :
- Melandaskan
diri pada Al- Qur’an dan sunnah. Tasawuf jenis ini dalam ajaran- ajarannya
cenderung memakai landasan Al- Qur’an dan sunnah sebagai kerangka
pendekatannya
- Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat
uangkapan- uangkapan syathahat
- Lebih
bersifat mengajarkan dualism dalam hubungan antara Allah dan manusia yang
dimaksud dualisme disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun
manusia dapat berhubungan dengan tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka
berbeda. Sedekat apapun manusia dengan Allah tidak lantas membuat manusia
dapat menyatu dengan tuhannya
- Berkesinambungan
antara syariat, tariqah dan hakikat
- Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan moral, pendidikan akhlak, dan
pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dengan langkah
takhali, tahali, dan tajali. Takhali yaitu mengosongkan diri dari akhlak
tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Tahali yaitu menghiasi diri
dengan akhlak mulia dan melaksanakan amal ibadah. Sedangkan tajali yaitu
terbuka hatinya dari hijab yang membatasi diriny dengan Allah sehingga
nampak jelas nur Allah di dalam pandangan mata hatinya.
Di bawah ini tokoh- tokoh
sufi dalam pengembangan tasawuf sunni
adalah sebagai berikut:
1. Rabi’ah Al- Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah
Al- Adawiyah binti Ismail al- Adawiyah al- Bashriyah, ia dilahirkan di Basrah pada
tahun 95 H dan meninggal pada tahun 185 H.Ia diberi nama Rabi’ah karena merupakan
putri ke empat dalam keluarga tersebut, sedangkan Adawiyah dikarenakan ia
berasal dari keturunan Adawiyah.[15]
Rabi’ah adalah seorang wanita sufi yang
pertama kali mempopulerkan mahabbah, makanya menjadi ajaran terpenting dalam
diri seorang wanita sufi ini. Ia merupakan orang pertama mengajarkan al- Hubdengan
isi dan pengertian yang khas tasawuf, hal ini berkaitan dengan kodratnya
sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam
berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.[16]
Cinta murni kepada Tuhan merupakan
puncak ajarannya dalam tasawufyang pada umumnya dituangkan melalui syair- syair
yang penuh cinta dan rindu kepada Allah. Adapun
syair- syair mahabbah Rabi’ah al- Adawiyah adalah sebagai berikut[17]
:
Kasihku,
hanya engkau yang kucintai,
pintu
hatiku telah tertutup bagi selain-Mu
Walau
mata jasadku tak mampu melihat engkau,
namun
mata hatiku memandang- Mu selalu
Cinta kepada Allah adalah satu- satunya
cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lain
sebagaimana yang diungkapkan oleh Rabi’ah” cinta ku kepada Allah telah menutup
hatiku untuk mencintai selain dia. Rabi’ah selalu memperbanyak taubat, dzikir,
dan puasa serta sholat siang dan malam, sebagai perwujudan dari cintanya kepada
Allah.Semakin hari semakin meningkat dan luluh dalam cinta yang abadi.Seluruh
periwayat tasawuf menyatakan bahwa Rabi’ah al- Adawiyah selalu mengisi
kehidupan siang dan malamnya dengan sholat diiringi derainya air mata rindu
kepada Allah.[18]
2. Zu Al- Nun Al- Misri
Nama lengkapnya ialah Abu al- Faidl
Tsauban bin Ibrahim Zu al- Nun al- Misri al-Akhmini Qibthy, ia dilahirkan di Akhmin
daerah Mesir. Ia adalah seorang ulama sufi besar dan terkemuka di antara sufi-
sufi lainnya pada abad 3 H.[19]
Jasa Zu al-Nun al-Misri yang paling
besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang
jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al- maqomat. Dia banyak
memberikan petunjuk arah jalan menuju dekat dengan Allah sesuai dengan
pandangan sufi, karenanya ia juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada
abad3 H. Adapun pendapat- pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada
Allah tentang jenjang al- maqomat dan hal, disamping itu al- Misri juga adalah
salah seorang pelopor doktrin tentang al- ma’rifah.[20]
Ketika Zu al- Nun Misri ditanya
bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia mengatakan bahwa” aku
mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak
mengenal Tuhan”. Zun al- Nun Misri menjelaskan bahwa ciri- ciri ma’rifat itu
ialah seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan
memutuskan segala sesuatuitu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi
segala sesuatu hanya semata- mata karena Allah.[21]
Adapun pusat ma’rifat menurut Zu al- Nun
Misri adalah komunikasi cahaya dari Allah kedalam hati nurani seseorang.Orang-
orang yang sudah mencapai ma’rifat tidak berada lagi dalam diri mereka, tetapi
dereka berada dalam zat Tuhan.[22]
3. Abu Hamid Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al- Ghazali ath- Thusi. Iadi lahirkanpada
tahun 450 M dan wafat pada tahun 505 H. Ayahnya adalah seorang yang sholeh yang
memiliki kebiasaan mendatangi para ulama dalam majelis- majelis pengajian.
Dalam menuntut ilmu Imam Al-Ghazali sangat tekun, sehingga ia memperoleh ilmu
dan menguasainya dengan luar biasa, berbagai bidang keilmuan yang ia kuasai
seperti fiqih, akidah, akhlak, tasawuf, sejarah, bahkan filsafat sekalipun.[23]
Imam Al- Ghazali dalam dunia tasawuf
dikenal sebagai tokohsufi yang piawai, bahkan ia merupakan salah seorang aulia
yang mencapai derajat wali qhutub, sebuah kedudukan dalam tingkat kewalian yang
sangat tinggi. Imam Al- Ghazali menulis beberapa kitab yaitu, Al- Basith,
Al- Wajiz, Al- Munqidz Min adh- Dalal, Tahafut Falasifah, Bidayatul Hidayah,
Minhajul Abidin, dan kitab yang sangat terkenal yang sampai sekarang masih
dikaji adalah kitab Ihya Ulumuddin ( tentang tasawuf akhlaqi).[24]
Menurut Al- Ghazali jalan para sufi
dalam tasawuf, baru dapat direalisir apabila telah dapat dilumpuhkan hambatan-
hambatan jiwa serta membersihkan diri dari sifat- sifat yang buruk, sehingga
qalbu dapat terbebas dari pengaruh segala sesuatu selain Allah. Dengan demikian
menurutnya jalan sufi adalah paduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Hal ini berarti bahwa
tasawuf adalah semacam pengalaman dan perjuangan yang berat, melalui belajar
dan penyucian diri rohani sehingga tasawuf diperoleh melalui ketersingkapan
batin. Bagaimana perjalanan hidup kerohaniannya secara rinci ia uraikan didalam
kitab Al- Munqidz Min adh- Dalal.[25] Karena keyakinannya
terhadap jalan kebenaran jalan sufi, maka Al- Ghazali berhasil mendeskripsikan
jalan menuju kepada Allah dalam karya besarnya yaitu Ihya Umuluddin. Rentetan
perjalanan itu bermula dari olah kerohanian melalui fase- fase tertentu yang
berujung pada kefanaan, ma’rifat dan kebahagiaan atau sya’adah .[26]
KESIMPULAN
Tasawuf pada umumnya merupakan
usah untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara murni dengan maksud untuk
mendekatkan dirai kepada Allah SWT. dengan cara menempuh kehidupan zuhud,
menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan
berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam,
dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani
seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat. Embrio munculnya praktek sufi dan ajaran
tasawuf dalam Islam telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. dan para
sahabatnya. Dan menjadi sebuah gerakan yang terperinsip dan menjadi sebuah
cabang keilmuan pada akhir abad ke II Hijriyah. Inti ajaran tasawuf terperinci ke dalam
pembagian tasawuf itu sendiri yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Di antara ajaran pokok tasawuf amali yaitu : syari’ah, tariqah, haqiqah dan ma’rifah.
[1]A.
Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke
Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 36
[4]Tim
Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993), h. 127
[9]Amin
syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab sosial abad 21,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 8
[10]Syaikh
Muhammad Sarif bin H. Jarmani bin H. Muhammad Siddiq al- Banjari, Mubadi
Ilmu Tasawuf, (Banjarmasin : Cetakan Pertama, 1392- 1973). h.13
[12]Syaikh
Abdus Somad Al- Falimbani, kitab siyarus salikin Fi Tariqatul Sadatul
Sufiyah , (Makkah : 1788), h. 7
[15].Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, ( Jakarta
: PT. Sinar Grafika Offset, 2002 ). h. 227
[16]. Ibid.h. 227
[17].Ibid.h. 228
[22]. Ibid. Hal. 94
[23]. Ibid. Hal. 175
No comments:
Post a Comment