Monday, December 23, 2024

MU’TAZILAH



Pendahuluan

Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan keagamaan. Mu’tazilah muncul sebagai sebuah sekte yang terkenal rasional setelah keluarnya Washil bin ‘Atha’ dari majelis Hasan al basri. Mu’tazilah merupakan suatu aliran pemikiran yang muncul akibat kontroversi tentang hukuman bagi pelaku dosa besar saat peristiwa terjadinya pembunuhan khalifah Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib.

Aliran mu’tazilah tidak hanya berpendapat tentang orang yang berdosa besar, namun belakangan berkembang menjadi pembicaraan teologi yang lebih kuat seperti pada masalah ke-Esaan Allah, sifat-sifat Allah, keadilan Allah, posisi akal dalam menetapkan kebenaran, baik dan buruk, mengetahui kewajiban, serta isu-isu teologis lainnya.

Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan hakikat aliran mu’tazilah ini, mulai dari latar belakang sosial politik keagamannya, ajaran-ajarannya serta perkembangan dan pengaruhnya terhadap pemikiran Islam.

Latar Belakang Sosial, Politik Keagamaan Aliran Mu’tazilah

Mu’tazilah berasal dari kata i’tazal-ya’tazil-i’tizal yang berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri. Kata ini secara umum dapat dipakai dalam setiap tindakan, yang mengasingkan diri atau memisahkan diri dari kelompoknya, maka orang itu dikatakan ber-i’tizal.[1]

Aliran mu‘tazilah merupakan kelompok kaum teologi pertama yang mengenalkan metode-metode filsafat. Hasil pemikirannya mendalam dan bersifat filosofis. Dalam membahas persoalan teologi, mereka banyak memakai penalaran akal, sehingga mereka dikenal sebagai kaum rasionalis Islam.[2]

Sejarah lahirnya aliran mu’tazilah ini tidak luput dari peristiwa yang berlaku sebelumnya, dimana pada saat terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Utsman ibn Affan, tema sentral perbincangan siapa yang kafir dan siap yang belum kafir mencapai puncaknya. Bahkan pembunuhan atas diri Saidina Ali telah menjadikan tema semula, menjadi lebih tajam, yaitu apa hukum pelaku dosa besar, kaum khawarij menyarakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau menjadi murtad, oleh karena itu ia harus dibunuh. Adapaun kaum Murji'ah menyatakan bahwa pelaku dosa besar adalah tidak kafir, imannya tidak rusak karena perbuatan tersebut tidak merusak iman, karena itu masih mukmin. Adapaun dosa yang diakukannya terserah kepada Allah SWT untuk pengampuninya.[3]

Di dalam arus polemik yang timbul itulah diperkirakan sejarah timbulnya aliran mu’tazilah. Ada beberapa sudut pandang mengenai sejarah timbulnya aliran teologi ini. Versi pertama atau sudut pandang pertama mengatakan lahirnya mu’tazilah adalah dari makna kata “mu’tazilat” yang berasal dari kata Arab “i’tazala” yang berarti memisahkan diri dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui ketakwaan, zuhud, kesederhanaan serta merasa puas dengan apa yang ada.

Versi kedua, bermula dari peristiwa yang terjadi antara Washil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al Basri di Basrah. Sikap Washil mengasingkan diri dari pengajiannya karena tidak sependapat dengan gurunya Hasan al-Basri dalam persolan orang yang melakukan dosa besar dan mati sebelum taubat masih disebut mukmin, tetapi mukmin yang maksiat (mukmin ‘ashi).[4]

Menurut Washil, mukmin ‘ashi bukan lagi mukmin (karena telah melakukan dosa besar) dan bukan pula kafir (karena telah mengucap dua kalimat syahadah), melainkan berada di antara dua posisi tersebut. Washil tetap pada pendiriannya dan tidak mau menerima pendapat gurunya Hasan al-Basri. Maka ia memisahkan diri dari pengajian gurunya tersebut ke sudut lain Mesjid Bashrah dan di saat itulah Hasan al-Basri mengatakan: ‘itazala ‘anna (Washil telah memisahkan diri dari kita). Sejak itu sebutan mu‘tazilah diberikan kepada Washil dan temannya yang sepaham dengannya, yaitu Ammar bin ‘Ubaid. Peristiwa ini terjadi pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan.[5]

Versi ketiga dikemukakan oleh Al-Baghdadi, menurutnya Washil dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya menjauhkan diri dari Hasan al basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya dinamai kaum mu‘tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang orang yang berdosa besar.[6]

Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Damah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum mutazilah. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan mutazilah.[7]

Al-Masudi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan mutazilah tanpa menyangkutpautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama mutazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).[8]

Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa awal mula lahirnya kaum Mu’tazilah adalah sesuai dengan versi yang kedua, yakni peristiwa Washil Ibn ‘Ata dengan hasan al basri di mesjid Basrah. Alasan-alasan yang dapat dikemukakan disini, antara lain:

1.      Para penulis sepakat bahwa peristiwa Washil itu dipandang sebagai sebab lahirnya kaum mu’tazilah karena penyebab timbulnya aliran ini didasarkan atas persoalan agama yang bercorak politik.

2.      Penggunaan kata i’tazalat, mu’tazilin dan mu’tazilat telah dipakai 100 tahun sebelum terjadinya peristiwa Washil di mesjid Bashrah. Tetapi kelompok yang menggunakan istilah ini adalah sebagai penunjuk sikap politik mereka.

3.      Mengenai informasi hubungan Mu’tazilah pertama dengan Mu’tazilah kedua, hanyalah dugaan semata karena tidak ada fakta yang akurat sebagai pendukungnya.[9]

 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa orang yang pertama membina aliran mu’tazilah adalah Washil ibn ‘Atha’. Ia dilahirkan di tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Menurut al-Mas’udi ia adalah, syaikh al-mu’tazilah wa qadimuha, yaitu kepala dan mu’tazilah tertua.

 

Tokoh-Tokoh Mu’tazilah

1.      Washil Ibn ‘Ata’

Washil Ibn ‘Ata’ adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham qadariyah (yang diambilnya dari Mabad dan Ghilan, dua tokoh aliran qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.[10]

2.      Abu Huzail al-Allaf

Abu Huzail al-Allaf seorang pengikut aliran Washil Ibn ‘Ata’, mendirikan sekolah mutazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran mutazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mutazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini.[11]

Abu Huzail al-Allaf mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran mutazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan KekuasaanNya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya.[12]

Penjelasan dimaksudkan oleh Abu Huzail al-Allaf untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salah wa alaslah.[13]

3.      Al-Jubba’i

Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asyari, pendiri aliran Asyariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.[14]

Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah aqliah) dan kewajibankewajiban yang diketahui melalui ajaranajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syariah).[15]

4.      An-Nazzam

Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.[16]


Ajaran-Ajaran Mu’tazilah

Mu’tazilah disebut sebagai aliran kalam yang rasionalis karena menempatkan posisi akal yang sangat besar. Dimana menurutnya posisi akal bisa setara dengan wahyu. Akal dalam pandangan mu’tazilah bisa menentukan kebenaran, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk. Pandangannya yang seperti ini sejalan dengan pendekatan qadariyah tentang perbuatan manusia yang dianggap mampu menetapkan dan bertanggung jawab atas amal usahanya melalui karunia akal.[17]

Sekalipun Mu’tazilah lebih dikenal sebagai golongan rasional, yaitu golongan yang lebih mendahulukan argumen rasional, bukan berarti mu’tazilah tidak mengindahkan naql (wahyu). Oleh mu’tazilah, dalil naql (wahyu) tetap diperlukan, sekalipun terbatas pada ibadah mahdhah dan itu pun terbatas pada dalil al-Qur’an dan Hadis Mutawatir.[18]

Pada dasarnya kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin dasar yang menjadi pegangan dan perjuangan mereka, doktrin dasar tersebut disebut juga dengan al-Ushul al Khamsat. Kelima doktrin tersebut ialah pertama al-Tawhid, kedua al-‘Adl, ketiga al-Wa’d wa al Wa’id, keempat al-manzilat bain al-Manzilatain, dan kelima al-Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.[19] Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1.      Al-Tawhid

Mu’tazilah menafsirkan ketauhidan secara filosofis sehingga mereka menklaim bahwa merekalah yang mengesakan Tuhan “Ahl ‘adl wa al-tauhid’ misalnya di dalam mengesakan Tuhan mereka berkata: “Allah yang Esa”, tidak sesuatu yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda), bukan syakhs (pribadi), bukan jauhar (subtansi), bukan ‘aradh (non esensial property), tidak berlaku zaman atas-Nya, tiada tempat baginya pada-Nya, tiada sifat makhluk berindikasi non azali, tiada batas bagi-Nya.[20] Dan oleh karena itu tidak ada selain Allah yang bisa bersifat qadim. Hanya zat tuhan yang boleh qadim.[21]

Pemahaman keesaan yang sedemikian rupa menyebabkan Muktazilah tidak mengakui adanya sifat bagi Tuhan, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan zat sekaligus mengingkari adanya arah bagi Tuhan sehingga Tuhan tidak bisa dilihat pada hari kiamat, serta menganggap bahwa al-Qur’an adalah makhluk.[22]


2.      al-‘Adl

Kaum mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bebas memilih, bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihan dan kehendaknya itu. Dengan kata lain perbuatan baik dan buruk adalah pilihan bebas manusia, dan manusia bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.[23] Oleh karena itu, keadilan Tuhan adalah memasukkan orang yang baik ke dalam surga dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka. Kelanjutan konsep ini ialah bahwa Tuhan wajib bersifat zalim dengan melakukan sebaliknya.[24]

Dengan dasar keadilan ini, mu’tazilah menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala pèrbuatanya terikat dan tidak memiliki kebebasan, manusia dalam keadaan terpaksa. Dari pemahaman di atas menurut Muktazilah terdapat tiga kewajiban Tuhan kepada manusia yaitu menepati janji (memasukkan yang baik ke dalam surga dan yang jahat ke neraka, melakukan yang baik dan yang terbaik dan mengutus Rasul.[25]


3.      Al-Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)

Ajaran ketiga ini adalah kelanjutan dari ajaran kedua, yaitu Tuhan pasti memasukkan orang baik ke dalam surga (sesuai dengan jañji baiknya) dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka (sesuai dengan ancamannya), sehingga kaum mu’tazilah tidak mengakui adanya syafaat pada hari kiamat, karena bertentangan dengan prinsip al-wa‘d wa al-wa‘id. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa taubat, sebagaimana orang berbuat baik tanpa mendapat balasan pahala.[26]


4.      Al-manzilat bain al-Manzilatain (Posisi antara Dua Posisi)

Menurut ajaran ini orang yang berdosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan nabi Muhammad. Tetapi bukanlah mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula ia sebenarnya tidak semesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka.[27]

Ada teori yang menyebutkan bahwa konsep jalan tengah ini di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, ayat Alquran yang mengambil jalan tengah (seperti: al-Baqarah: 137 dan al-Isra’: 110). Kedua, hadis Nabi tentang kebaikan jalan tengah “Khair al-umur ausathuha”. Ketiga ungkapan Ali “kun fi al-dunnya wasatha”, dan keempat,teori Aristoteles tentang ‘jalan tengah’ (golden means).[28]


5.      Al-Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar

Golongan mu’tazilah telah sepakat menyeru dan menunjukkan pada kebajikan dan mencegah ke arah perbuatan keji dan mungkar itu adalah suatu kewajiban bagi semua umat Islam. Ini dimaksudkan agar kebaikan itu tidak diabaikan dan kejahatan itu tidak dibiarkan berleluasa. Penyeruan pada kebaikan dan pencegahan daripada kejahatan oleh sebagian mukallaf, maka gugurlah tuntutan tersebut dari keseluruhan muslimin. Amar ma’ruf nahi munkar tersebut memerlukan pada keilmuan dan kebijaksanaan tertentu. sesuatu yang mau diserukan itu perlu diketahui dahulu tentang ma’rufnya. Kemudian diperlukan taktik untuk menyeru dan menunjukkannya, agat tidak terjadi suatu hal di luar dari yang dimaksud.[29]


Perkembangan dan pengaruh Aliran Mu’tazilah

Berkembangnya paham mu’tazilah pada masa Dinasti Abbasyiah tidak bisa dilepaskan dari faktor masuknya filsafat Yunani ke dalam negara Islam melalui penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Diterjemahkannya buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani pada masa itu. Pemakaian dan kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum mu’tazilah ke dalam lapangan teologi Islam dan dengan demikian teologi mereka mengambiul corak teologi liberal, dalam arti walaupun mereka banyak mempergunakan akal, mereka tidak meninggalkan wahyu.[30]

     Teologi aliran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan liberal begitu menarik bagi kaum intelegensia yang terdapaty dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasyiah dipermulaan abad ke-9 Masehi sehingga Khalifah al-Ma’mun (813-833 M), putra dari khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M) di tahun 827 M menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada masa pemerintahannya, meski pada akhirnya setelah al-Ma’mun meninggal maszhab resmi negara ini dibatalkan oleh khalifah al-Mutawakkil di tahun 856 M.[31]

Kaum Mu’tazilah tak disukai karena sikap mereka memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke IX Masehi. Kesalahpahaman terhadap aliran Mu’tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi di dalam perguruan-perguruan Islam, kecuali mulai dari permulaan abad ke XX ini, itupun hanya di perguruan-perguruan tertentu seperti al-Azhar di kairo. Buku-buku yang banyak dibaca teologi yang dikarang oleh pengikut-pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi.

     Bahkan diantara pengarang-pengarang itu ada yang tak segan-segan mengatakan kaum Mu’tazilah sebagai golongan kafir. Tetapi atas pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh sebagai dua pemimpin modernisme utama dalam Islam, keadaan itu telah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan alim ulama yang mulai membela kaum mu’tazilah. Abu Zahrah juga menolak tuduhan bahwa aliran Mu’tazilah adalah aliran kafir yang menyeleweng dari Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa ajaran-ajaran ini tidak membuat mereka keluar dari Islam. Ahmad Amin dan Abu Zahrah juga mengakui dan menghargai jasa-jasa kaum Mu’tazilah dalam membela Islam terhadap serangan-serangan dari luar yang terjadi di zaman mereka.[32]

Inisiatif penggunaan dalil akal tercermin dalam rumusan lima ajaran pokok aliran ini. Mengutip dari Qadhi Abd al-Jabar dalam bukunya Syarh al-Ushul al Khamsat, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilah dengan rumusan al-tauhidnya telah dapat mematahkan golongan al-Mulahidat, al-Mu’athhilat, al-Dahriyat dan al-Musybihat. Mu’tazilah telah menolak paham Jabariah dengan konsep keadilan (al’adl). Mereka juga telah menggusur paham Murji’ah dengan doktrin al-wa’ad wa al-wa’id. Sementara paham aliran Khawarij mereka meredam dengan konsep al-Manzilat bain al-Manzilatain. Golongan Syi’ah Imamiyah dapat mereka taklukkan dengan konsep al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al Munkar. Pemimpin kaum Mu’tazilah yaitu Washil ibn ‘Atha dan ‘Amr ibn Ubaid merupakan pemuka mu’tazilah yang mempunyai otak cemerlang dan akal yang cerdas. Mereka telah mempergunakan argumen akal yang sistematis dan logis dalam merumuskan aqidah Islam. Hal ini tercermin dalam debat dan dialektika mereka, sehingga terlihatlah pendapat-pendapat mereka sangat rasional.[33]

Paham Mu’tazilah pada umumnya dianut oleh kalangan intelektual, sejak awal munculnya hingga kini. Bahkan di Indonesia, paham ini juga mulai diminati oleh kalangan intelektual. Meskipun mereka memiliki faham-faham yang dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tetapi mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka keluar dari Islam.

Pemikiran aliran mu’tazilah ini juga berdampak pada orientasi kurikulum pendidikan Islam. Filsafat, logika, matematika dan ilmu-ilmu yang membutuhkan pemikiran rasional dimana peranan akal cukup besar, menjadi bagian dari ide tokoh-tokoh pendidikan yang datang kemudian, di samping tentu saja mereka tidak meninggalkan ilmu-ilmu agama.

 Kesimpulan

 

Mu’tazilah merupakan aliran yang bisa dikatakan memberikan sumbangan cukup besar ilmu kalam karena peran mereka dalam memasukkan dalil akal dalam pembahasan aqidah Islamiah, dan teologi mereka juga masih banyak berpijak pada ajaran-ajaran Islam. Pemikiran mereka juga sangat berpengaruh bagi perkembangan pedidikan Islam pada saat ini.


[1]Sirajuddin Zar, Teologi Islam (Aliran dan Ajarannya), (Padang: IAIN Press. 2003) , h. 58

[2]Jamaluddin dan Shabri Shaleh Anwar, op.cit, h. 99

[3]Sirajuddin Zar, Aliran Mu’tazilah dan Sumbangannya Terhadap Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press. 2002), h. 32-34

[4]Taslim HM Yasin, dkk, Studi Ilmu Kalam, (Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, 2014), h. 143

[5]Ibid, h. 144

[6]Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 38

[7]Rohidin, Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, El-Afkar Vol. 7 Nomor II 2018, h. 3

[8]Ibid, h. 3

[9]Sirajuddin Zar, op,cit, h. 63

[10]Rohidin, Mu’tazilah; op.cit, h. 4

[11]Ibid, h. 4

[12]Ibid, h. 4

[13]Ibid, h. 4

[14]Ibid, h. 4

[15]Ibid, h. 5

[16]Ibid, h. 5

[17]Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 9

[18]Alkhendra, Reaktualisasi Pemikiran Theologi di Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 1999), h. 9

[19]Sirajuddin Zar, op,cit, h. 65

[20]Taslim HM Yasin, dkk, op.cit, h. 145

[21]Harun Nasution, op.cit, h. 52

[22]Taslim HM Yasin, dkk, loc.cit, h. 145

[23]Sirajuddin Zar, op,cit, h. 72

[24]Taslim HM Yasin, dkk, op.cit, h. 146

[25]Ibid, h. 146

[26]Ibid, h. 146

[27]Harun Nasution, op.cit, h. 55

[28]Taslim HM Yasin, dkk, op.cit, h. 147

[29]Sirajuddin Zar, op,cit, h. 78-79

[30]Harun Nasution, op.cit, h. 60

[31]Ibid, h. 62

[32]Ibid, h. 63

[33]Sirajuddin Zar, op.cit, h. 74-75

No comments:

Post a Comment

MU’TAZILAH

Pendahuluan Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan...