Pendahuluan
Dalam sejarah Islam tercatat adanya berbagai macam golongan atau aliran yang berkembang, antara satu dengan lainnya bertentangan paham yang sulit untuk diperdamaikan apalagi disatukan. Permasalahan ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak dapat dirubah lagi. Dan hal ini menjadi kekayaan dalam ilmu pengetahuan itu sendiri.
Di antara aliran-aliran yang berkembang dan pahamnya mempunyai pengaruh besar terhadap dunia Islam adalah aliran Asy’ariyah yang merupakan rintisan seorang tokoh pemikir Islam Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al Asy’ari dari Bashrah. Kemunculan paham ini sesungguhnya tidak lain adalah sebagai reaksi ketidakpuasan dan keragu-raguan pemahaman yang diyakini Asy’ari sebelumnya, hingga memunculkan atau melahirkan suatu teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama paham Asy’ariyah.Latar
Belakang Sosial Politik Keagamaannya
Asy‘ariyah
adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang sampai saat ini masih tetap
hidup dimasyarakat Islam yang berasal dari nama seorang pendirinya yaitu Hasan
Ali bin Ismail al-Asy‘ari keturunan dari Abu Musa al-Asy‘ary yang memiliki nama
lengkap Abu Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi
Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari.[1]
Seluruh jenis
ilmu pengetahuan yang ada berkembang sangat pesat di zaman Abu Hasan al-Asy’ari
ini yang menyebabkan kapasitas ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh beliau
matang karena disokong oleh keadaan yang sangat membantu dalam berkembangnya
sang Imam. Al-Asy’ari dilahirkan di Basrah, dan tumbuh dalam lingkungan
keagamaan dan keilmuan yang kuat, bahkan ayah beliau seorang Sunni yang
notabeneAhl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu
Asakir. Setelah berjalannya waktu, Abu Hasan al’Asy’ary pindah ke Bagdadpada
zaman Abbasiah, disinilah beliau bertemu dengan Abu Ali al-Jubbai, lalu beliau
menikah dengan ibu al-Asy’ari. Jubbai merupakan salah satu pembesar mu’tazilah
dan menjadi sosok penting yang mengenalkan paham mu’tazilah kepada Asy’ari.[2]
Ada beberapa
versi mengenai penyebab berpalingnya Asy’ari dari aliran mu’tazilah antara lain
berdasarkan riwayat Ibnu as-Sakir, sebagai dikutip Jalal Musa bahwa pada suatu
malam Asy’ari bermimpi berjumpa Nabi SAW, dalam mimpi itu Nabi memerintahkan
agar ia meninggalkan mazhab Mu’tazilah dan membelah sunnahnya. Dalam arti kata
mashab ahli Hadislah yang benar dan mashab Mu’tazilah salah. Akan tetapi
pandnagan ini sulit diterima, dengan alasan mimpi ia keluar dari mu’tazilah,
padahal ia telah berada dalam aliran ini sampai 40 tahun.[3]
Versi lain
mengatakan adanya ketidak puasan Asy’ari dalam kasus dialognya dengan Jubb’i
tentang masalah kedudukan mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. salah satu
pendapat ia menurut al-Subki seperti yang dikutip oleh harun Nasution adalah:
Al-Asy’ari :
Bagaimana kedudukan ke tiga orang berikut : mukmin, kafir dan anak kecil di
akhirat?
Al-Jubba’i :
Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan
yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari :
Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah
itu?
Al-Jubba’i :
Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada
Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa.
Al-Asy’ari :
Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan : itu bukanlah salahku. Jika sekiranya
Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti
yang dilakukan orang mukmin.
Al-Jubba’i :
Allah akan menjawab “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat
dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut
nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.
Al-Asy’ari :
Sekiranya yang kafir mengatakan : “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana
Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?.[4]
Di sini al-Jubba’i
terpaksa diam. Jelas, kelihatannya al-Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu
dan tidak merasa puas lagi dengan aliran mu’tazilah yang dianutnya selama ini.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari
mengasingkan diri di rumah selam lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran
mu’tazilah. Pada suatu hari ia keluar ke mesjid Jami’ di bashrah pada hari
Jum’at, lalu ia naik mimbar dan berkata dengan lantang dan menyatakan bahwa
dirinya keluar dari mu’tazilah.[5] Kata
al-Asy’ari tersebut adalah:
Wahai manusia, barang siapa
diantara kamu yang kenal pada saya, ia sudah mengenal saya, tetapi barang siapa
yang tdiak mengenal saya, saya akan memperkenalkan akan diri saya, bahwa saya
ini adalah Abul hasan al-Ansy’ari, yang beberapa waktu meyakini bahwa al-Qur’an
itu makhluk, dan bahwa Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan bahwa
perbuatan jahat itu saya sendirilah yang mengerjakannya, bukan dengan qadha dan
qadha, saya sudah taubat dan saya sekarang menentang paham mu’tazilah tentang
kesalahan pendiriannya. Wahai manusia yang hadir, ketahuilah bahwa saya ini
hilang beberapa lama dari pergaulan, karena aku sedang betul-betul mempelajari
pertengkaran dan alasan-alasan draipada golongan besar ini. Sekarang Tuhan
telah memberi petunjuk kepadaku. Aku teguh dalam pendirianku dan ku tulis semua
dalam buku ini. Aku sudah membuang paham mu’tazilah itu, sebagaimana aku
membuka bajuku ini sekarang, dan melemparkan ketengah-tengahmu.[6]
Hammudah
Ghurabah menyebutkan bahwa ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy'ari dari
al-Jubba‘i, menimbulkan persoalan-persoalan, yang tidak mendapat penyelesaikan
yang memuaskan. Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak kecil tersebut di atas.
Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang
Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang mungkin membawanya kepada
perubahan madzhab itu.[7]
Di sisi lain
Asy’ari meninggalkan paham mu’tazilah ketika golongan ini berada dalam fase kemunduran
dan kelemahan. Setelah al Mutawakkil membatalkan aliran mu’tazilah sebagai
mazhab negara, kedudukan kaum mu’tazilah mulai menurun, lebih-lebih setelah
Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap Ibnu Hambal,
lawan mu’tazilah mulai menurun, lebih-lebih setelah Mutawakkil menunjukkan
sikap penghargaan dan penghormatan terhadap Ibnu Hambal, lawan mu’tazilah terbesar
waktu itu.[8]
Dalam suasana
demikianlah Asy’ari keluar dan menyusun teologi Islam baru yang sesuai dengan
pemahaman masyarakat yang berpegang kuat pada Hadis. Amat mungkin teori harun
Nasution dapat diterima bahwa Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah, karena ia
melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran, mengingat pada waktu itu tidak ada aliran
teologi Islam lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka.[9] Abul
Hasan al-Asy'ari dalam masalah keyakinan terhadap sifat Allah mengikuti
pendapat Ibnu Kullab, seorang tokoh ahlul kalam (filsafat) dari Bashrah di
zamannya. Imam Al-Asy'ari kemudian berpindah pemahaman tiga kali sepanjang
hayatnya.
Asy'ariyah awalnya hanya menetapkan tujuh sifat ma‘ani saja bagi Allah yang ditetapkan menurut akal (aqliyah) yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam‘u, bashir, dan kalam. Kemudian ditambahkan oleh as-Sanusi menjadi dua puluh sifat, dan tidak menetapkan satu pun sifat fi‘liyah (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah). Asy‘ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 M. Bersama menyebarnya Tasawuf (sufi), pemahaman ini juga mendapat dukungan oleh para penguasa di beberapa pemerintahan Islam.[10]
Asy‘ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 M, yang menyebabkan pemahaman ini dapat menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga ke Indonesia. Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M, Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy‘ariyah. Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy‘ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.[11]
Ajaran-Ajaran
Asy’ariyah
Ajaran-ajaran
al-Asy‘ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama
dari kitab al-Luma‘ fi al-Rad ‘ala Ahl
al-Ziagh wa al-Bida‘ dan al-Ibanah
‘an Usul al-Dianah di samping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya.[1] Adapun
ajaran-ajaran pokoknya adalah:
1.
Tuhan
mempunyai sifat
Mustahil kata al-Asy‘ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya.[2] Demikian pula sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat. Bagi al-Asy‘ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan.[3] Maka sesuai dengan surah Al-Nahl ayat 40:
Artinya: Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun
(jadilah)", Maka jadilah ia.
Untuk penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk
terciptanya kun ini perlu pula kata kun yang lain. Begitulah seterusnya
sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak kesudahan. Dan ini tak
mungkin. Oleh karena itu al-Qur‘an tidak mungkin diciptakan.[4]
Asy’ari juga berpendapat bahwa kita harus percaya bahwa
Tuhan itu ada dan mempunyai banyak sifat. Tuhan mempunyai sekalian sifat jamal (keindahan), sifat jalal (kebesaran), dan sifat kamal (kesempurnaan). Tetapi yang wajib
diketahui secara terperinci bagi umat Islam yang sudah baligh dan berakal
adalah dua puluh sifat yang wajib dan dua puluh sifat yang mustahil dan satu
yang harus.[5]
Pendapat Asy’ariyah tentang ini jelas berlawanan dengan
Mu’tazilah yang meniadakan sifat Tuhan. Pokok-pokok ajaran Asy’ari yaitu
mengenal wajibul waujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan
yang mempunyai sifat. Sebagaimana Allah mengetahui dengan ‘ilmu-Nya berkuasa
dengan sifat kuasanya.
Dalil yang dijadikan alasan bahwa Allah SWT mempunyai
sifat oleh Asy’ari adalah firman Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 22-24:
Artinya: Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja yang Maha Suci, yang Maha
Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha
Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan,
yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna, bertasbih kepadanya apa yang
dilangit dan bumi, dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dari pendapat Asy’ari tentang masalah sifat Tuhan di atas
maka penulis setuju dengan pendapat Asy’ari bahwa Allah itu mempunyai sifat,
sifat itu berdiri dengan sendirinya.
2.
Al-Qur’an
bukan makhluk (diciptakan) tetapi Qadim
Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu diciptakan, maka Asy'ariah berpendapat bahwa al-Qur’an sebagai manifestasi (perwujudan) kalamullah yang qadim (tidak diciptakan).[6] Sebab kalau ia makhluk maka sesuai dengan surah Al-Nahl ayat 40:
Artinya: Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun
(jadilah)", Maka jadilah ia.
Untuk menciptakan itu perlu kata “kun”, dan untuk
terciptanya, kata “kun” itu diperlukan pula kata “kun” yang lain. Begitulah seterusnya,
kata “kun” yang satu memerlukan kata “kun” yang lain yang tak ada
habis-habisnya. Tentu saja hal ini tidak mungkin terjadi. Dengan demikian maka
al-Qur’an (kalamullah) tidak mungkin
diciptakan (baru).[7]
Jadi menurut pandangan Asy’ariyah sama dengan pandangan
Maturidiyah, keduanya sama-sama mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah kalam
Allah yang qodim, dan mereka berbeda
pendapat dengan mu’tazilah yang menyatakan al-Qur’an itu makhluk.
3.
Perbuatan
Tuhan dan manusia
Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tidak
ada sesuatu wajib bagi-Nya. Tuhan berkehendak sekehendaknya tidak ada zat di
atas Tuhan yang dapat membuat hukum-hukum dan menentukan apa yang tidak boleh
diperbuatan dan apa yang boleh dikerjakan.[8] Dari
keterangan di atas dapat penulis ambil suatu pengertian bahwa pokok Asy’ari
dalam masalah perbuatan Tuhan adalah bahwa tidak ada kewajiban bagi Tuhan ia
berkehendak terhadap segala ciptaannya apa yang ia kehendaki. Tuhan mempunyai
kekuasaan yang mutlak tidak ada satu pencipta pun yang dapat menandingi
perbuatan Tuhan.
Dalam masalah perbuatan manusia Asy’ari berpendapat bahwa
perbuatan manusia bukan diwujudkan oleh manusia itu sendiri, tetapi diwujudkan
oleh Tuhan. Perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan itulah yang diperoleh oleh
manusia. Asy’ari juga berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak akan terlepas
dari kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Manusia tidak mempunyai kemampuan
tanpa ada izin dan kehendak Allah. Perbuatan baik dan buruk hanya terjadi
dengan kehendak-Nya, perbuatan kafir adalah buruk, walaupun orang kafir ingin
supaya perbuatan kafir itu sebenarnya bersifat baik, apa yang dikehendaki orang
kafir baik ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi
berat dan sulit, walaupun orang mukmin ini ingin supaya perbuatan iman itu
tidak berat dan sulit, namun yang dikehendaki orang mukmin itu tidak dapat
diwujudkan.[9]
Orang Mukmin menghendaki supaya perbuatan
iman itu
mudah dilaksanakan, tidak berat dan tidak sulit, tetapi apa yang
dikehendaki orang mukmin itu tidak dapat diwujud-kannya. Jadi
yang menciptakan perbuatan iman itu bukanlah orang mukmin
yang sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan tidak
sulit, melainkan Tuhan. Walaupun perbuatan manusia diciptakan
Tuhan, tetapi manusia memiliki kemampuan untuk melakukan (kasb)[10] sesuatu perbuatan.[11]
Selain itu, Asy’ari juga
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai pilihan di dalam perbuatannya karena
semua yang dilakukan mansuia berdasarkan ketentuan Tuhan. Baginya Tuhan
menciptakan perbuatan manusia. Hakikatnya perbuatan itu tidak akan terjadi kecuali
diciptakan oleh orang yang menciptakannya.[12]
4.
Tuhan dapat dilihat di akhirat
Asy’ari tidak sependapat
dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah
(melihat Allah di akhirat). Asy’ari yakin bahwa dapat dilihat di akhirat tetapi
tidak dapat digambarkan, kemungkinan ru’yat
terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat dan atau bilamana
ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Akan tetapi
penglihatan kita terhadap tuhan
tidak memerlukan ruang, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita)
sebab itu mustahil.[13]
Asy’ari juga berpendapat
sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada
Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian
diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat di
akhirat tidak akan membawa
kepada pengertian diciptakannya Tuhan, karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian
jika dikatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat, itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan bersifat diciptakan.[14]
5.
Keadilan Tuhan
Bagi aliran Asy'ariah,
kekuasaan Tuhan mutlak. Ia tidak berkewajiban menyiksa orang yang berbuat dosa,
dan tidak berkewajiban pula memberi balasan berupa surga kepada orang beriman.
Tuhan bebas berbuat menurut kehendak-Nya, sehingga seandainya Ia masukkan semua
manusia ke surga, bukanlah Ia bersifat tidak adil. Begitu pula sebaliknya,
seandainya Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, maka bukanlah ia
bersifat zalim.[15]
Selain yang telah
diuraikan di atas, masih ada lagi ajaran-ajaran Asy'ariah yang lainnya di
antaranya:
a.
Adanya syafa’at pada hari kiamat dan siksa
kubur.
b.
Adanya pengumpulan manusia di padang Mahsyar.
c.
Adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di kubur.
d.
Adanya pertimbangan amal manusia.
e.
Kebaikan dan Keburukan tidak dapat diketahui
hanya melalui akal.
f.
Surga dan neraka adalah makhluk.
g.
Ijma adalah suatu kebenaran yang harus
diterima.
h.
Walaupun Tuhan berkehendak mutlak, namun kaum
Asy'ariah mempercayai bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar akan masuk
neraka sampai selesai menjalani siksa dan akhirnya masuk surga.[16]
B.
Perkembangan dan
Pengaruh Aliran Asy’ariyah
Sebagaimana yang diketahui bahwa perkembangan aliran
Asy’ariyah diidentikan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka untuk membahas
perkembangan dan pengaruhnya di dunia Islam tidak terlepas dari peranan
tokoh-tokohya sendiri.
1.
Pasca meninggalnya Al Ghazali di Baghdad
tempat Al Ghazali pernah mengajar Nizam al Mulk mendirikan sekolah-sekolah yang
diberi nama al Nizamiah, di sekolah-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan
teologi Asy’ariyah. Dengan demikian paham-paham Asy’ariyah mulai tersebar luas
bukan di daerah kekuasan Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya.[17]
2.
Di Andalusia dan Afrika Utara Ibn Tumart,
murid al-Ghazali dan putra mahkota Bani Muwahiddin amat berjasa dalam
menyebarkan aliran Asy’riyah ini yakni sekitar abad ke 6 H.[18]
3.
Di Mesir aliran Asy’ariyah dikembangkan oleh Salahuddin
al Ayyubbi, sebagai pengganti aliran Syi’ah yang dibawa oleh kerajaan Fatimiyah
yang berkuasa di Mesir dari tahun 969-1171 M. Ia menggantikan corak Syi’ah
dengan corak ahlu sunnah terutama dalam bidang ilmiah, kebudayaan dan agama.[19]
4.
Di dunia Islam bagian Timur sampai ke India
ajaran ini dibawa oleh Mahmud al-Ghaznawi (999-1030 M) kerajaan yang didirikan
oleh dinasti Ghaznawi ini berkuasa di Afghanistan dan Punjab dari tahun 962-1186
M. Dan akhirnya kekuasaan dinasti ini meluas sampai ke Irak melalui Persia.[20]
Pada waktu itu rakyat biasanya mengikuti mazhab yang
dipakai dinasti yang berkuasa. Ini merupakan salah satu faktor penting bagi
tersebar luasnya aliran Asy’ariyah di dunia Islam pada waktu itu. Dengan
lenyapnya aliran-aliran lain, terutama aliran Mu’tazilah maka aliran Asy’ariyah
tan memperoleh saingan untuk mempengaruhi umat islam sejak waktu itu hingga
sekarang. Apabila kita memperhatikan tokoh-tokoh Asy’ariyah yang dalam
perkembangan diidentikkan dengan Ahlu Sunnah wal jama’ah, maka dapat dikatakan
bahwasanya pengaruh ajaran ini tidak terlepas dari beberapa hal:
1.
Kepintaran tokoh sentralnya yaitu imam
Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dalam basis keilmuan yang dalam.
Disamping itu ia adalah seorang yang sholeh dan takwa sehingga ia mampu menarik
simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2.
Asy’ariyah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan
inteltua; dan birokrasi (penguasa) yang sangat membantu penyebaran paham ini.
Para tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam bidang memberikan argumentasi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran ini melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut antara lain Maqalat al Islamiyah, al Ibanah an Ushuluddiyanah, Al Luma’ ketiganya adalah karangan Asy’ari. At Tahmid al Baqilani, al irsyadholeh al Juwaini, al Qawaidul Aqid dan Ihya Ulumuddin karangan al Ghazali, Aqidatu Ahlu Tauhid karangan al Sanusi, Risalatut Tauhid karangan Muhammad Abduh. Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia, misalnya NU secara formal menganut ideologi ini demikian pula Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui teologi ini, sedangkan pergerakan lain juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah wal Jamaah ialah persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran ini diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.[21]
[1]Ibid, h. 119
[2]Sirajuddin
Zar, op.cit, h. 87
[3]Jamaluddin
dan Shabri Shaleh Anwar, op.cit, h. 120
[4]Abu
Hasan al-Asy’ari, al-Luma ‘fi al-Radd
‘Ahl al-Zaig wa al-Bida’, (Mesir: Matba’at Munir, 1955), h. 34
[5]Abdul
Aziz Dahlan, Teologi Akidah dalam Islam, (Padang:
IAIN-IB Press, 2007), h. 144
[6]Hasan
Basri, dkk, Ilmu Kalam, Sejarah dan Pokok
Pikiran Aliran-Aliran, (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2007), h. 56
[7]Ibid, h. 56
[8]Abdul
Aziz Dahlan, op.cit, h. 145
[9]Ibid., h. 287
[10]Kasb menurut Abu al-Hasan Asy’ari yaitu, yang mewujudkan
perbuatan manusia adalah Allah, namun
manusia diberi daya dan pilihan untuk berbuat atas kehendak Allah. Manusia
dalam perbuatannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Oleh
karena itu, manusia dalam pandangan Abu al-Hasan Asy’ari bukan fa’il tetapi kasib, lihat Abu al-Hasan Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin Wa Ikhtilaf
Al-Mushalliin, (al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, 1950), h.
315
[11]Hasan
Basri, dkk, Ilmu Kalam, op.cit, h. 55
[12]Duskiman
Sa’ad, Aliran dalam Islam Perbedaan
Pemahaman Dalam Kajian Teologi Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2001), h. 83
[13]Al-Syahrastani,
al Milal wa al Nihal, (Kairo: Mustofa
al-baby al-Halaby, 1967), h. 125
[14]Hasan
Basri, dkk, Ilmu Kalam, loc.cit, h.
55
[15]Ibid., h. 56
[16]Ibid., h. 57
[17]Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 75
[18]Ibrahin
Madkhaur, Aliran dan Teologi Filsafat
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.65
[19]Ahmad
Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:
Pustaka al Husna, 1980), h. 120
[20]Harun
Nasution, loc.cit, h. 75
[21]Syafiq
A. Mughni, Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan
Posisi Teologi Muhammadiyah, (Suara Muhammadiyah, 1995), h. 51
[1]Jamaluddin
dan Shabri Shaleh Anwar, Ilmu Kalam
Khazanah Intelektual Pemikiran dalam Islam, (Tembilahan: PT. Indragiri.com,
2020), h. 114
[2]Muhammad
Adryan dan Indo Santalia, Aliran
Asy’ariyah: Sebuah Kajian Historis Pengaruh Aliran Serta Pokok Teologinya,
Jurnal Vol. 2 No. 1 2022, h. 755
[3]Sirajuddin
Zar, Teologi Islam Aliran dan Aajarannya,
(Padang: IAIN Press, 2003), h. 84-84
[4]Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Press, 1997), h. 62
[5]Abu
Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Solo:
Ramadhani, 1970), h. 90
[6]Ibid, h. 90
[7]Jamaluddin
dan Shabri Shaleh Anwar, op.cit, h.
114
[8]Sirajuddin
Zar, op.cit, h. 86
[9]Ibid, h. 87
[10]Jamaluddin
dan Shabri Shaleh Anwar, op.cit, h.
119
[11]Ibid, h. 119
No comments:
Post a Comment