Pendahuluan
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan keagamaan. Mu’tazilah muncul sebagai sebuah sekte yang terkenal rasional setelah keluarnya Washil bin ‘Atha’ dari majelis Hasan al basri. Mu’tazilah merupakan suatu aliran pemikiran yang muncul akibat kontroversi tentang hukuman bagi pelaku dosa besar saat peristiwa terjadinya pembunuhan khalifah Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib.
Aliran mu’tazilah tidak hanya berpendapat tentang orang yang berdosa besar, namun belakangan berkembang menjadi pembicaraan teologi yang lebih kuat seperti pada masalah ke-Esaan Allah, sifat-sifat Allah, keadilan Allah, posisi akal dalam menetapkan kebenaran, baik dan buruk, mengetahui kewajiban, serta isu-isu teologis lainnya.
Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan hakikat aliran mu’tazilah ini, mulai dari latar belakang sosial politik keagamannya, ajaran-ajarannya serta perkembangan dan pengaruhnya terhadap pemikiran Islam.
Latar Belakang Sosial, Politik Keagamaan Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah
berasal dari kata i’tazal-ya’tazil-i’tizal
yang berarti orang yang memisahkan diri atau mengasingkan diri. Kata ini secara
umum dapat dipakai dalam setiap tindakan, yang mengasingkan diri atau
memisahkan diri dari kelompoknya, maka orang itu dikatakan ber-i’tizal.[1]
Aliran mu‘tazilah
merupakan kelompok kaum teologi pertama yang mengenalkan metode-metode
filsafat. Hasil pemikirannya mendalam dan bersifat filosofis. Dalam membahas
persoalan teologi, mereka banyak memakai penalaran akal, sehingga mereka
dikenal sebagai kaum rasionalis Islam.[2]
Sejarah
lahirnya aliran mu’tazilah ini tidak luput dari peristiwa yang berlaku
sebelumnya, dimana pada saat terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Utsman ibn
Affan, tema sentral perbincangan siapa yang kafir dan siap yang belum kafir
mencapai puncaknya. Bahkan pembunuhan atas diri Saidina Ali telah menjadikan
tema semula, menjadi lebih tajam, yaitu apa hukum pelaku dosa besar, kaum khawarij
menyarakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam
atau menjadi murtad, oleh karena itu ia harus dibunuh. Adapaun kaum Murji'ah menyatakan bahwa pelaku dosa besar adalah tidak kafir, imannya tidak rusak
karena perbuatan tersebut tidak merusak iman, karena itu masih mukmin. Adapaun
dosa yang diakukannya terserah kepada Allah SWT untuk pengampuninya.[3]
Di dalam arus
polemik yang timbul itulah diperkirakan sejarah timbulnya aliran mu’tazilah.
Ada beberapa sudut pandang mengenai sejarah timbulnya aliran teologi ini. Versi
pertama atau sudut pandang pertama mengatakan lahirnya mu’tazilah adalah dari
makna kata “mu’tazilat” yang berasal
dari kata Arab “i’tazala” yang
berarti memisahkan diri dari ketergantungan terhadap keduniaan, yaitu melalui
ketakwaan, zuhud, kesederhanaan serta merasa puas dengan apa yang ada.
Versi kedua, bermula
dari peristiwa yang terjadi antara Washil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn
‘Ubaid dan Hasan al Basri di Basrah. Sikap Washil mengasingkan diri dari
pengajiannya karena tidak sependapat dengan gurunya Hasan al-Basri dalam
persolan orang yang melakukan dosa besar dan mati sebelum taubat masih disebut
mukmin, tetapi mukmin yang maksiat (mukmin
‘ashi).[4]
Menurut
Washil, mukmin ‘ashi bukan lagi mukmin (karena telah melakukan dosa besar) dan
bukan pula kafir (karena telah mengucap dua kalimat syahadah), melainkan berada
di antara dua posisi tersebut. Washil tetap pada pendiriannya dan tidak mau
menerima pendapat gurunya Hasan al-Basri. Maka ia memisahkan diri dari
pengajian gurunya tersebut ke sudut lain Mesjid Bashrah dan di saat itulah
Hasan al-Basri mengatakan: ‘itazala ‘anna
(Washil telah memisahkan diri dari kita). Sejak itu sebutan mu‘tazilah diberikan kepada Washil dan temannya
yang sepaham dengannya, yaitu Ammar bin ‘Ubaid. Peristiwa ini terjadi pada
zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan.[5]
Versi ketiga
dikemukakan oleh Al-Baghdadi, menurutnya Washil dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid
Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian
antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya
menjauhkan diri dari Hasan al basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya
dinamai kaum mu‘tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam
tentang orang yang berdosa besar.[6]
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah
yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari
masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya
adalah majelis
Hasan al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa
majelis tersebut bukan majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan
tempat sambil berkata, “ini kaum mu’tazilah.” Sejak itulah kaum
tersebut dinamakan mu’tazilah.[7]
Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan mu’tazilah tanpa
menyangkutpautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Basri. Mereka
diberi nama mu’tazilah, katanya, karena berpendapat
bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki
tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah
bain al-manzilatain).[8]
Dari beberapa
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa awal mula lahirnya kaum
Mu’tazilah adalah sesuai dengan versi yang kedua, yakni peristiwa Washil Ibn
‘Ata dengan hasan al basri di mesjid Basrah. Alasan-alasan yang dapat
dikemukakan disini, antara lain:
1.
Para
penulis sepakat bahwa peristiwa Washil itu dipandang sebagai sebab lahirnya
kaum mu’tazilah karena penyebab timbulnya aliran ini didasarkan atas persoalan
agama yang bercorak politik.
2.
Penggunaan
kata i’tazalat, mu’tazilin dan mu’tazilat
telah dipakai 100 tahun sebelum terjadinya peristiwa Washil di mesjid Bashrah.
Tetapi kelompok yang menggunakan istilah ini adalah sebagai penunjuk sikap
politik mereka.
3.
Mengenai
informasi hubungan Mu’tazilah pertama dengan Mu’tazilah kedua, hanyalah dugaan
semata karena tidak ada fakta yang akurat sebagai pendukungnya.[9]
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa orang yang pertama membina aliran mu’tazilah adalah Washil
ibn ‘Atha’. Ia dilahirkan di tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H.
Menurut al-Mas’udi ia adalah, syaikh
al-mu’tazilah wa qadimuha, yaitu kepala dan mu’tazilah tertua.
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1.
Washil
Ibn ‘Ata’
Washil Ibn ‘Ata’
adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah. Adatiga ajaran pokok
yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain,
paham qadariyah (yang
diambilnya dari Ma’bad dan Ghilan, dua tokoh aliran qadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.[10]
2.
Abu
Huzail al-Allaf
Abu
Huzail al-Allaf
seorang pengikut aliran Washil
Ibn ‘Ata’, mendirikan sekolah mu’tazilah
pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran mu’tazilah
dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme
dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada
masa Khalifah al-Makmun
(Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi
negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab
teologi ini.[11]
Abu
Huzail al-Allaf
mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun
ajaran-ajaran mu’tazilah yang bercorak filsafat. Ia
antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan
Maha Kuasa dengan KekuasaanNya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya.[12]
Penjelasan dimaksudkan oleh Abu Huzail al-Allaf untuk menghindari adanya yang
kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat dalam arti sesuatu yang
melekat di luar zat Tuhan, berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada
kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal
itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salah wa alaslah.[13]
3.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’i
adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai
sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau
dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak,
dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.[14]
Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah aqliah)
dan kewajibankewajiban yang diketahui melalui ajaranajaran yang dibawa para
rasul dan nabi (wajibah syar’iah).[15]
4.
An-Nazzam
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan
Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam
hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu
bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang
yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.[16]
Ajaran-Ajaran Mu’tazilah
Mu’tazilah disebut sebagai aliran kalam yang rasionalis
karena menempatkan posisi akal yang sangat besar. Dimana menurutnya posisi akal
bisa setara dengan wahyu. Akal dalam pandangan mu’tazilah bisa menentukan
kebenaran, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban menjalankan yang baik dan
menghindari yang buruk. Pandangannya yang seperti ini sejalan dengan pendekatan
qadariyah tentang perbuatan manusia yang dianggap mampu menetapkan dan
bertanggung jawab atas amal usahanya melalui karunia akal.[17]
Sekalipun Mu’tazilah lebih dikenal sebagai golongan
rasional, yaitu golongan yang lebih mendahulukan argumen rasional, bukan
berarti mu’tazilah tidak mengindahkan naql
(wahyu). Oleh mu’tazilah, dalil naql
(wahyu) tetap diperlukan, sekalipun terbatas pada ibadah mahdhah dan itu pun
terbatas pada dalil al-Qur’an dan Hadis Mutawatir.[18]
Pada dasarnya kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin
dasar yang menjadi pegangan dan perjuangan mereka, doktrin dasar tersebut
disebut juga dengan al-Ushul al Khamsat. Kelima doktrin tersebut ialah pertama al-Tawhid, kedua al-‘Adl, ketiga al-Wa’d wa al
Wa’id, keempat al-manzilat bain
al-Manzilatain, dan kelima al-Amr bin
al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.[19] Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1.
Al-Tawhid
Mu’tazilah menafsirkan ketauhidan secara filosofis
sehingga mereka menklaim bahwa merekalah yang mengesakan Tuhan “Ahl ‘adl wa
al-tauhid’ misalnya di dalam mengesakan Tuhan mereka berkata: “Allah yang Esa”,
tidak sesuatu yang menyamai-Nya, bukan jisim
(benda), bukan syakhs (pribadi),
bukan jauhar (subtansi), bukan ‘aradh (non esensial property), tidak
berlaku zaman atas-Nya, tiada tempat baginya pada-Nya, tiada sifat makhluk
berindikasi non azali, tiada batas bagi-Nya.[20] Dan
oleh karena itu tidak ada selain Allah yang bisa bersifat qadim. Hanya zat
tuhan yang boleh qadim.[21]
Pemahaman keesaan yang sedemikian rupa menyebabkan
Muktazilah tidak mengakui adanya sifat bagi Tuhan, sehingga segala sesuatu yang
berkaitan dengan zat sekaligus mengingkari adanya arah bagi Tuhan sehingga
Tuhan tidak bisa dilihat pada hari kiamat, serta menganggap bahwa al-Qur’an
adalah makhluk.[22]
2.
al-‘Adl
Kaum mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bebas memilih,
bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihan dan kehendaknya itu.
Dengan kata lain perbuatan baik dan buruk adalah pilihan bebas manusia, dan
manusia bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.[23] Oleh
karena itu, keadilan Tuhan adalah memasukkan orang yang baik ke dalam surga dan
memasukkan orang jahat ke dalam neraka. Kelanjutan konsep ini ialah bahwa Tuhan
wajib bersifat zalim dengan melakukan sebaliknya.[24]
Dengan dasar keadilan ini, mu’tazilah menolak golongan
Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala pèrbuatanya terikat dan
tidak memiliki kebebasan, manusia dalam keadaan terpaksa. Dari pemahaman di
atas menurut Muktazilah terdapat tiga kewajiban Tuhan kepada manusia yaitu
menepati janji (memasukkan yang baik ke dalam surga dan yang jahat ke neraka,
melakukan yang baik dan yang terbaik dan mengutus Rasul.[25]
3.
Al-Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ketiga ini adalah kelanjutan dari ajaran kedua,
yaitu Tuhan pasti memasukkan orang baik ke dalam surga (sesuai dengan jañji
baiknya) dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka (sesuai dengan ancamannya),
sehingga kaum mu’tazilah tidak mengakui adanya syafaat pada hari kiamat, karena
bertentangan dengan prinsip al-wa‘d wa
al-wa‘id. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa taubat, sebagaimana
orang berbuat baik tanpa mendapat balasan pahala.[26]
4.
Al-manzilat bain al-Manzilatain (Posisi antara Dua Posisi)
Menurut ajaran ini orang yang berdosa besar bukanlah
kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan nabi Muhammad. Tetapi bukanlah
mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat
masuk surga, dan karena bukan kafir pula ia sebenarnya tidak semesti masuk
neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka.[27]
Ada teori yang menyebutkan bahwa konsep jalan tengah ini
di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, ayat Alquran yang mengambil jalan
tengah (seperti: al-Baqarah: 137 dan al-Isra’: 110). Kedua, hadis Nabi tentang
kebaikan jalan tengah “Khair al-umur
ausathuha”. Ketiga ungkapan Ali “kun
fi al-dunnya wasatha”, dan keempat,teori Aristoteles tentang ‘jalan tengah’
(golden means).[28]
5.
Al-Amr bin al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Golongan mu’tazilah telah sepakat menyeru dan menunjukkan
pada kebajikan dan mencegah ke arah perbuatan keji dan mungkar itu adalah suatu
kewajiban bagi semua umat Islam. Ini dimaksudkan agar kebaikan itu tidak
diabaikan dan kejahatan itu tidak dibiarkan berleluasa. Penyeruan pada kebaikan
dan pencegahan daripada kejahatan oleh sebagian mukallaf, maka gugurlah
tuntutan tersebut dari keseluruhan muslimin. Amar ma’ruf nahi munkar tersebut
memerlukan pada keilmuan dan kebijaksanaan tertentu. sesuatu yang mau diserukan
itu perlu diketahui dahulu tentang ma’rufnya. Kemudian diperlukan taktik untuk
menyeru dan menunjukkannya, agat tidak terjadi suatu hal di luar dari yang
dimaksud.[29]
Perkembangan dan pengaruh Aliran Mu’tazilah
Berkembangnya paham mu’tazilah pada masa Dinasti
Abbasyiah tidak bisa dilepaskan dari faktor masuknya filsafat Yunani ke dalam
negara Islam melalui penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Diterjemahkannya buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani pada masa itu.
Pemakaian dan kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum mu’tazilah ke dalam
lapangan teologi Islam dan dengan demikian teologi mereka mengambiul corak
teologi liberal, dalam arti walaupun mereka banyak mempergunakan akal, mereka
tidak meninggalkan wahyu.[30]
Teologi aliran
Mu’tazilah yang bersifat rasional dan liberal begitu menarik bagi kaum
intelegensia yang terdapaty dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam
Abbasyiah dipermulaan abad ke-9 Masehi sehingga Khalifah al-Ma’mun (813-833 M),
putra dari khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M) di tahun 827 M menjadikan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada masa pemerintahannya,
meski pada akhirnya setelah al-Ma’mun meninggal maszhab resmi negara ini
dibatalkan oleh khalifah al-Mutawakkil di tahun 856 M.[31]
Kaum Mu’tazilah tak disukai karena sikap mereka memakai
kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke IX Masehi.
Kesalahpahaman terhadap aliran Mu’tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak
dibaca dan dipelajari lagi di dalam perguruan-perguruan Islam, kecuali mulai
dari permulaan abad ke XX ini, itupun hanya di perguruan-perguruan tertentu
seperti al-Azhar di kairo. Buku-buku yang banyak dibaca teologi yang dikarang
oleh pengikut-pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Bahkan diantara
pengarang-pengarang itu ada yang tak segan-segan mengatakan kaum Mu’tazilah
sebagai golongan kafir. Tetapi atas pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Syekh
Muhammad Abduh sebagai dua pemimpin modernisme utama dalam Islam, keadaan itu
telah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan alim ulama yang
mulai membela kaum mu’tazilah. Abu Zahrah juga menolak tuduhan bahwa aliran
Mu’tazilah adalah aliran kafir yang menyeleweng dari Islam. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa ajaran-ajaran ini tidak membuat mereka keluar dari Islam.
Ahmad Amin dan Abu Zahrah juga mengakui dan menghargai jasa-jasa kaum
Mu’tazilah dalam membela Islam terhadap serangan-serangan dari luar yang
terjadi di zaman mereka.[32]
Inisiatif penggunaan dalil akal tercermin dalam rumusan
lima ajaran pokok aliran ini. Mengutip dari Qadhi Abd al-Jabar dalam bukunya
Syarh al-Ushul al Khamsat, menyatakan bahwa kaum Mu’tazilah dengan rumusan
al-tauhidnya telah dapat mematahkan golongan al-Mulahidat, al-Mu’athhilat,
al-Dahriyat dan al-Musybihat. Mu’tazilah telah menolak paham Jabariah dengan konsep
keadilan (al’adl). Mereka juga telah
menggusur paham Murji’ah dengan doktrin al-wa’ad
wa al-wa’id. Sementara paham aliran Khawarij mereka meredam dengan konsep al-Manzilat bain al-Manzilatain.
Golongan Syi’ah Imamiyah dapat mereka taklukkan dengan konsep al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al Munkar.
Pemimpin kaum Mu’tazilah yaitu Washil ibn ‘Atha dan ‘Amr ibn Ubaid merupakan
pemuka mu’tazilah yang mempunyai otak cemerlang dan akal yang cerdas. Mereka
telah mempergunakan argumen akal yang sistematis dan logis dalam merumuskan aqidah
Islam. Hal ini tercermin dalam debat dan dialektika mereka, sehingga
terlihatlah pendapat-pendapat mereka sangat rasional.[33]
Paham Mu’tazilah pada umumnya dianut oleh kalangan
intelektual, sejak awal munculnya hingga kini. Bahkan di Indonesia, paham ini
juga mulai diminati oleh kalangan intelektual. Meskipun mereka memiliki
faham-faham yang dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah tetapi mempunyai
faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka keluar dari Islam.
Pemikiran aliran mu’tazilah ini juga berdampak pada
orientasi kurikulum pendidikan Islam. Filsafat, logika, matematika dan
ilmu-ilmu yang membutuhkan pemikiran rasional dimana peranan akal cukup besar,
menjadi bagian dari ide tokoh-tokoh pendidikan yang datang kemudian, di samping
tentu saja mereka tidak meninggalkan ilmu-ilmu agama.
[1]Sirajuddin
Zar, Teologi Islam (Aliran dan
Ajarannya), (Padang: IAIN Press. 2003) , h. 58
[2]Jamaluddin dan Shabri
Shaleh Anwar, op.cit, h. 99
[3]Sirajuddin
Zar, Aliran Mu’tazilah dan Sumbangannya
Terhadap Ilmu Kalam, (Padang: IAIN-IB Press. 2002), h. 32-34
[4]Taslim
HM Yasin, dkk, Studi Ilmu Kalam,
(Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, 2014), h. 143
[5]Ibid, h. 144
[6]Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran
Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 38
[7]Rohidin,
Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya,
El-Afkar Vol. 7 Nomor II 2018, h. 3
[8]Ibid, h. 3
[9]Sirajuddin
Zar, op,cit, h. 63
[10]Rohidin,
Mu’tazilah; op.cit, h. 4
[11]Ibid, h. 4
[12]Ibid, h. 4
[13]Ibid, h. 4
[14]Ibid, h. 4
[15]Ibid, h. 5
[16]Ibid, h. 5
[17]Abd.
Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 9
[18]Alkhendra,
Reaktualisasi Pemikiran Theologi di
Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 1999), h. 9
[19]Sirajuddin
Zar, op,cit, h. 65
[20]Taslim
HM Yasin, dkk, op.cit, h. 145
[21]Harun
Nasution, op.cit, h. 52
[22]Taslim
HM Yasin, dkk, loc.cit, h. 145
[23]Sirajuddin
Zar, op,cit, h. 72
[24]Taslim
HM Yasin, dkk, op.cit, h. 146
[25]Ibid, h. 146
[26]Ibid, h. 146
[27]Harun
Nasution, op.cit, h. 55
[28]Taslim
HM Yasin, dkk, op.cit, h. 147
[29]Sirajuddin
Zar, op,cit, h. 78-79
[30]Harun
Nasution, op.cit, h. 60
[31]Ibid, h. 62
[32]Ibid, h. 63
[33]Sirajuddin
Zar, op.cit, h. 74-75