Oleh
Adi Putra Bunda
Pendidikan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey
menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan fungsi sosial,
sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan mebuka serta
membentuk disiplin hidup. Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa
bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya
pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan
ditentukan aktifitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami
sudah merupakan kebutuhan hidup manusia. Manusia sebagai makhluk pedagogik yang
dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik sehingga mampu
menjadikan Kholifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Manusia
dilengkapi dengan fitrah Allah swt berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi
dengan berbagai kecakapan dan ketrampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk mulia. Allah sebagai pendidik pertama memberikan
pendidikan kepada manusia melalui kandungan ayat qauliyah dan ayat kauniyah. Allah
swt menegaskan dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 190-191 :
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata), ya Tuhan kami, Tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Muhammad
'Athiyyah al-Abrasyi sebagaimana yang dikutip oleh Syahidin, mendefinisikan
pendidikan sebagai suatu upaya maksimal seseorang atau kelompok orang dalam
mempersiapkan peserta didik agar ia hidup sempurna, bahagia, cinta tanah air,
fisik yang kuat, akhlak yang sempurna, lurus dalam berfikir, berperasaan yang
halus, terampil dalam bekerja, saling menolong dengan sesama, dapat menggunakan
fikirannya dengan baik melalui lisan maupun tulisan, dan mampu hidup mandiri.
Pengertian
ini sejalan dengan rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia yang
terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 :
Pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam
benak kita timbulkan suatu pertanyaan yang besar kenapa permasalahan akhlak masih
banyak disinggung pada saat sekarang terutama dalam dunia pendidikan. Dikarenakan
permasalahan akhlak memang merupakan masalah fundamental dalam kehidupan
manusia baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Adab kesopanan harus
dipelihara jika ingin mendapatkan suatu martabat yang tinggi. Hanya dengan
pengetahuan yang banyak dan akhlak mulia seseorang akan mencapai sukses atau
mencapai tingkat yang tinggi, yang menyebabkan kesempurnaan dalam pergaulan
baik kepada Allah swt maupun kepada sesama manusia.
Akhlak
merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam. Akhlak yang baik akan menitikberatkan
timbangan kebaikan seseorang pada hari kiamat, menurut keterangan Abdulloh Ibnu
Umar, orang yang paling dicintai dan yang paling dekat dengan Rasulullah saw
pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya. Akhlak mulia yang diajarkan
oleh Islam merupakan orientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim. Akhlak
merupakan ukuran kemanusiaan yang hakiki dan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan manusia, bahkan untuk membedakan antara hewan dan manusia terletak
pada akhlaknya. Manusia yang tak berakhlak sama halnya dengan hewan,
kelebihannya manusia hanya pandai berkata-kata.
Pendidik
dan peserta didik berperan penting dalam pendidikan terutama dalam kegiatan
pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar yang terjadi adalah interaksi
antara pendidik dan peserta didik, antara si mengerti dan yang tak mengerti,
namun semua itu mesti berjalan atas kemauan kedua belah pihak. Tujuannya adalah
untuk mencari dan mengamalkan ilmu tersebut. Sesungguhnya yang demikian itu,
sopan santun ataupun tatakrama dalam mencari ilmu harus tetap dipegang dan
dilaksanakan kedua belah pihak terutama bagi seorang peserta didik.
Permasalahan
hubungan baik antara pendidik dengan peserta didik sangat menarik untuk dikaji
lebih lanjut. Salah satu kitab yang membahas tentang etika peserta didik
terhadap pendidik yaitu kitab Ta’lim
Al-Muta’allim yang banyak diajarkan di pondok pesantren. Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan karya
al-Zarnuji yang masih ada sampai sekarang ini. Syaikh Al-Zarnuji adalah salah
seorang tokoh dalam dunia pendidikan Islam dan ia tergolong sebagai ulama
klasik yang hidup pada abad pertengahan masa bani Abbasiyah.
Kitab karya Syaikh Al-Zarnuji ini adalah salah satu kitab klasik,
yang namanya dikenal dikalangan pendidik (kyai) dan peserta didik (santri) di
seluruh pesantren Indonesia. Kitab Ta’lim
al-Muta’allim banyak memberikan konsep-konsep dan masalah pendidikan dalam
berbagai aspeknya ini banyak diajarkan bagi para penuntut pemula dalam
lingkungan pesantren. Ia tidak hanya menjadi icon, tetapi juga ruh bagi pondok pesantren. Bagi peserta didik (santri)
pemula biasanya kitab ini menjadi bahan kajian dasar dalam bidang etika,
terutama dalam mengatur hubungan dengan pendidik yang lazim disebut kyai atau
ustadz. Hal ini agaknya dimaksudkan untuk meletakkan dasar motivasi peserta
didik dalam menuntut ilmu agar jelas arah dan tujuannya.
Dalam kitab tersebut muallif (pengarang) menerangkan tentang ilmu
dan keutamaannya, kewajiban dan niat belajar materi dan metode belajar dan
konsep lainnya. Kitab ini dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode
belajar bagi para peserta didik (santri). Dalam
kitab Ta’lim al-Muta’alim terdiri
dari 13 pasal, salah pembahasan mengenai etika peserta didik terhadap pendidik
terdapat dalam pasal IV. Dalam pasal IV ini menerangkan
bahwa memuliakan pendidik adalah paling utama dibanding memuliakan yang lain.
Sebab dengan pendidiklah manusia dapat memahami tentang hidup, dapat membedakan
antara yang hak dan batil. Memuliakan tidak terbatas pada pendidik namun seluruh
keluarganya wajib dimuliakan. Syaikh
Al-Zarnuji menjelaskan juga bahwa seorang peserta didik tidak akan
memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika
mau mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan menghormati keagungan pendidiknya.
Konsep selanjutnya dalam
kitab Ta’lim
al-Muta’alim Syaikh
Al-Zarnuji menjelaskan etika peserta didik terhadap pendidiknya, yaitu,
1) Jangan berjalan di depannya, 2) Duduk di tempatnya, 3) Memulai mengajak
bicara kecuali atas perkenan darinya, 4) Berbicara macam-macam darinya, 5)
Menanyakan hal-hal yang membosankannya, 6) Cukuplah dengan sabar menanti diluar
hingga ia sendiri yang keluar dari rumah. Konsep selanjutnya di dalam kitab
tersebut peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidiknya menjadi
ridho, menjauhkan amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya yang tidak
bertentangan dengan agama, sebab orang tidak boleh taat kepada makhluk dalam
melakukan perbuatan durhak kepada Allah Maha Pencipta dan juga menghormati pendidik,
yaitu menghormati putera dan semua orang yang bersangkut paut dengannya.
Dari konsep yang disampaikan Syaikh
Al-Zarnuji senada juga yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Burhanuddin mengatakan
ada seorang imam besar di Bukhara, pada suatu ketika sedang asyiknya di tengah
majlis belajar ia sering berdiri lalu duduk kembali. Setelah ditanyai kenapa demikian,
lalu jawabnya, ada seorang putra guruku yang sedang main-main dihalaman rumah
dengan teman-temannya, bila saya melihatnya sayapun berdiri demi menghormati
guruku.
Qodli Imam Fakhruddin Al-Arsyabandiy juga menjelaskan, saya bisa
menduduki derajat ini, hanyalah berkah saya menghormati guruku. Saya menjadi
tukang masak makanan beliau, yaitu beliau Abi Yazid Ad-Dabbusiy, sedang kami
tidak turut memakannya.
Kemudian dilanjutkan penjelasan dari Syaikh Al-Zarnuji
mengatakan barang siapa melukai hati sang gurunya, berkah ilmunya tertutup
dan hanya sedikit kemanfaatannya. Hal terpenting dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim terhadap
etika peserta didik adalah pendidik yang mengajarimu satu huruf ilmu yang diperlukan
dalam urusan agamamu, adalah bapak dalam kehidupan agamamu. Konsep ini
menjelaskan tentang bahwa
orang tua adalah
pendidik pertama bagi anaknya, sedang hubungan pendidik dengan peserta didiknya
sama dengan
hubungan orang tua dengan anaknya. Imam al-Ghozali dalam Ihya Ulumuddin, menjelaskan bahwa hak seorang pendidik lebih
besar dari hak bapak, karena bapak menjadi sebab lahirnya anak dan kehidupan di
dunia fana, sedang pendidik menjadi sebab kehidupan yang kekal dan abadi.
Sebagaimana hak anak-anak dari seorang ayah adalah bekasih-kasihan dan tolong
menolong mencapai segala maksud, demikian pula kewajiban peserta didik
terhadap pendidiknya.
Bagaimana keadaan peserta didik kita pada saat sekarang iya
sudah bisa ditebak sudah banyak fenomena kemerosotan moral
akhir-akhir ini menjangkit sebagian generasi peserta didik kita, hal ini
dilihat sebagian peserta didik kita sudah tidak lagi menghargai dan menghormati
pendidiknya, bahkan peserta didik kita sudah berani mengeluarkan kata-kata
kasar serta tidak segan-segan peserta didik kita untuk mengajak duel sang
pendidik. Sebagai contoh siswa
terkadang
sembari mengeluarkan kata-kata kasar dan menantang sang guru untuk berkelahi. Fakta
selanjutnya seorang siswa mengancam akan berbuat kasar setelah dimarahi oleh
guru kelasnya. dari fakta di atas, contoh dari sekian banyak kasus yang terjadi
dalam pendidikan di Indonesia dan sudah tergambar jelas bagaimana kondisi
akhlak peserta didik kita pada saat sekarang terkesan kurang etika dan tidak ada
akhlak terhadap pendidik mereka berdasarkan fakta di atas berarti belum
tercapainya tujuan dari pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas tersebut menjelaskan pendidikan
tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian
atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Fenomena kemerosotan moral yang terjadi pada peserta didik kita
bisa dilihat dari 2 sisi yaitu, pertama dari orang tua peserta didik itu
sendiri sebagian dari orang tua sudah tidak lagi memperdulikan fungsi dan perannya
sebagai pendidik dan sebagian dari orang tua sudah tidak lagi menanamkan
nilai-nilai agama dalam diri anak mereka padahal dalam lingkungan keluarga, orang
tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam membina kepribadian dan
membentuk akhlak generasi bangsa, khususnya anak-anak mereka. Sebagai pemimpin
dalam keluarga, orang tua harus mampu menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya.
Karena setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui pendengaran,
penglihatan, perilaku, pembinaan dan sebagainya, akan menjadi bagian dari
pribadinya yang tumbuh. Mengutip dari pendapat oleh Alex Sobur mengatakan, pada
hakekatnya keluarga atau rumah tangga, merupakan tempat pertama dan yang utama
bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang
kemudian ditambah dan disempurnakan oleh sekolah. Begitu pula halnya pendidikan
agama harus dilakukan oleh orang tua sewaktu kanak-kanak dengan membiasakan
pada akhlak dan tingkah laku yang diajarkan agama.
Dalam
ajaran agama Islam, anak merupakan amanat Allah swt. Untuk itu orang tua
berkewajiban menjaga dan mendidiknya supaya selamat dunia dan akhirat. Bahkan
keselamatan kehidupan keluarga juga merupakan tanggung jawab orang tua. Sebagaimana
firman Allah dalam surat At-Tahrim, ayat 6 :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Faktor kedua dari lingkungan masyarakat terkadang
sebagian masyarakat acuh tak acuh terhadap pembentukan akhlak peserta didik
yang berada di lingkungannya padahal dalam lingkungan sosial masyarakat
juga mempunyai andil dalam membina kepribadian dan membentuk akhlak generasi
muda. Mengutip dari pendapat buya Hamka yang mengatakan bahwa pembentukan akhlak
anak dalam masyarakat adalah keseluruhan budaya, komunitas sosial, dan segala
unsur apapun yang tercakup di dalamnya yang dapat membentuk dan mendukung
kepribadian si anak. Akhlak si anak dapat dikatakan sebagai cerminan dari
bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada. Eksistensi masyarakat merupakan
laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya
pelaksanaan proses pendidikan. Karenanya jika semua unsur dalam masyarakat
dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem sosial yang kondusif dan
proporsional dalam menopang perkembangan dinamika fitrah yang dimiliki oleh
setiap anak didik, maka bukan hal yang sulit untuk menemukan generasi-generasi
yang cemerlang demi perbaikan bangsa seluruhnya.
Jadi
dapat dikatakan bahwa dalam membentuk akhlak peserta didik yang memiliki ahklah
Islami bukan hanya tugas dari pendidik semata, akan tetapi dari keluarga dan
masyarakat juga ikut berperan dan bertanggung jawab mendidik dan membina akhlak
mulia pada anak. Ketiga unsur ini tidak dapat berjalan dengan sendiri-sendiri
harus menjalin kerja sama satu sama lainnya agar tujuan dari pendidikan agama
Islam dan tujuan dari pendidikan nasional dapat tercapat sebagaimana yang
diharapkan.
Kepada
peserta didik hargailah guru-gurumu dimanapun berada karena gurumulah yang
mengajarkan banyak pengetahuan sehingga dirimu paham dengan pelajaran yang
disampaikannya, engkau mengatahui pelajaran agama dan pelajaran umum serta
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk itu karena jasa para gurumu yang
dengan ikhlas mengajarkan, mendidik, membina, memotivator dirimu di saat engkau
berputus asa, gurumu yang rela mengorbankan waktu istirahatnya pada malam hari
demi memeriksa lembaran-lembaran ujian, dan bahkan mengisi nilai pada
lembaran-lembaran lapormu dengan ikhlas agar engkau meraih cita-citamu. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa
hendaklah pelajar itu bersikap kepada gurunya seumpama tanah kering yang
disirami hujan lebat. Maka meresaplah ke seluruh bahagiannya dan meratalah
keseluruhannya air hujan itu.
SUMBER BACAAN
A. Mudjab Mahali, Adab
Dan Pendidikan Dalam Syariat Islam, Yogyakarta: BPFE, 1984
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran
Pendidikan Islam; Gagasan-Gagasan Para Ilmuan Muslim, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015
Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Ali Mas’ud, Akhlak
Tasawuf , Sidoarjo: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012
Burhanuddin Az zanurji, Ta’lim al-Muta’allim, Kairo, Maktabah al-Sa’adah,
tt
Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi
Pendidikan, Surabaya : Al-Ikhlas, 2005
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Bandung:
Syamil Cipta Media, 2005
Dzikri Nirwana, Menjadi
Pelajar Muslim Modern yang Etis dan Kritis Gaya Ta‟lîm Al-Muta‟allim, Banjarmasin:
IAIN Antasari Press, 2014
Hamka, Lembaga
Hidup, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
Jalaludin,
Teologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003
Redaksi Sinar
Grafika,UU Sisdiknas ( Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI No.20 Th.2003),
Sinar Grafika Offset, 2003
Syahidin,
Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, Bandung: Alfabeta, 2009
Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2013
No comments:
Post a Comment