![]() |
ilustrasi |
Berbicara masalah pembentukan
karakter pasti tidak akan pernah lepas dari yang namanya pendidikan, John Dewey
menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan fungsi sosial,
sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membuka serta
membentuk disiplin hidup. Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa
bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan.
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, mendefinisikan pendidikan sebagai suatu upaya
maksimal seseorang atau kelompok orang dalam mempersiapkan peserta didik agar
ia hidup sempurna, bahagia, cinta tanah air, fisik yang kuat, akhlak yang
sempurna, lurus dalam berfikir, berperasaan yang halus, terampil dalam bekerja,
saling menolong dengan sesama, dapat menggunakan fikirannya dengan baik melalui
lisan maupun tulisan, dan mampu hidup mandiri.
Pengertian ini sejalan dengan
rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 :
Pendidikan
nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Menurut Griek mengemukakan bahwa karakter
dapat didefinsikan sebagai paduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat
tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu
dengan orang yang lain. Dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses
mengukir atau memahat sedemikian rupa, sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan
berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.
Dalam Islam
karakter sering disebut dengan istilah akhlak mengutip pendapat Ibnu Maskawaih
diartikan sebagai, hal linnafs da’iyah laha ila af’aliha min ghair fikrin wa
laa ruwayatin (sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling
dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan lagi). Sedangkan Ahmad
Tafsir perpendapat karakter itu sama dengan akhlak dalam pandangan Islam. Ahmad Tafsir juga menegaskan bahwa
pendidikan karakter itu sangat penting, karakter merupakan penanda bahwa
seorang layak atau tidak layak disebut manusia, dan pendidikan karakter itu adalah
tugas semua orang, termasuk lembaga pendidikan Islam. Ada 18 nilai-nilai
dalam membentuk karakter peserta didik yaitu,
1.
Jujur,
2.
Toleransi,
3.
Disiplin,
4.
Kerja keras,
5.
Kreatif,
6.
Mandiri,
7.
Demokratis,
8.
Rasa Ingin Tahu,
9.
Semangat Kebangsaan,
10.
Cinta Tanah Air,
11.
Menghargai Prestasi,
12.
Bersahabat/Komunikatif,
13.
Cinta Damai,
14.
Gemar Membaca,
15.
Peduli Lingkungan,
16.
Peduli Sosial,
17.
Tanggung Jawab
18.
Religius.
Ketika pendidikan
di Indonesia sedang gencar-gencarnya untuk membentuk karakter peserta didik
melalui pembelajaran di sekolah ternyata kenyataan di lapangan sudah banyak fenomena kemerosotan moral
akhir-akhir ini menjangkit sebagian generasi peserta didik, hal ini dilihat sudah
maraknya aksi tawuran
yang dilakukan sebagian dari peserta didik berbagai sejata tajam digunakan
dalam aksi tawuran tersebut. Bahkan aksi tawuran dilakukan pada bulan suci
ramadhan walaupun dari peserta didik sudah ada yang tertangkap oleh pihak
keamanan akan tetapi hal ini tidak membuat efek jera bagi peserta didik dan
aksi tawuran tetap saja terjadi di kalangan peserta didik. dari fakta di atas, contoh dari
sekian banyak kasus yang terjadi dan sudah tergambar jelas bahwa dengan
maraknya aksi tawuran yang dilakukan oleh peserta didik menunjukkan belum tercapainya pendidikan
karakter. Ini menjadi tanda tanya besar dalam hati siapa yang harus kita
salahkan ? apakah kita akan menyalahkan sistem yang sudah ada pada saat ini ?
ataukah kita akan menyalahkan tenaga pendidik yang ada di sekolah ?
Menurut hemat penulis
kita tidak bisa memandang dari satu sisi saja, konsep pendidikan karakter tidak
akan bisa tercapai selama lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat tidak ada menjalin komunikasi satu sama lain.
Pada lingkungan keluarga, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam
membina kepribadian dan membentuk karakter generasi bangsa, khususnya anak-
anak mereka. Anak adalah
anugerah Tuhan yang sangat berharga, di balik itu terdapat amanah yang besar
untuk mendidik, membesarkan dan memberikan contoh perilaku yang baik terhadap
anak. Jadi orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga harus menjadi suri
tauladan bagi anak-anaknya secara logika pertumbuhan dan perkembangan si anak
pasti akan meniru dan mencotoh dari orang tuanya. Pada hakekatnya keluarga atau
rumah tangga, merupakan tempat pertama dan yang utama bagi anak untuk
memperoleh pembinaan mental dan pembentukan kepribadian yang kemudian ditambah
dan disempurnakan oleh sekolah. Begitu pula halnya pendidikan agama harus
dilakukan oleh orang tua sewaktu kanak-kanak dengan membiasakan pada akhlak dan
tingkah laku yang diajarkan agama.
Kemudian pada lingkungan sekolah,
tenaga pendidik juga merupakan suri tauladan bagi peserta didik, karena tugas tenaga
pendidik tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja tetapi juga dalam rangka
membina dan mendidik siswanya agar memiliki akhlak mulia melalui pendidikan serta
diharapkan siswa dapat mengamalkan dalam kehidupan keseharian mereka. Semua itu
menjadi tanggung jawab mutlak bagi guru saat di sekolah.
Sedangkan lingkungan masyarakat
juga mempunyai andil dalam membina kepribadian dan membentuk akhlak generasi
muda. buya Hamka berkata pembentukan akhlak anak dalam masyarakat adalah
keseluruhan budaya, komunitas sosial, dan segala unsur apapun yang tercakup di
dalamnya yang dapat membentuk dan mendukung kepribadian si anak. Akhlak si anak
dapat dikatakan sebagai cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia
berada.
Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan
karakter bukan hanya tugas dari tenaga pendidik semata, akan tetapi dari
keluarga dan masyarakat juga ikut berperan dan bertanggung jawab mendidik dan
membina akhlak mulia pada anak. Ketiga unsur ini tidak dapat berjalan dengan
sendiri-sendiri harus menjalin kerja sama satu sama lainnya agar tujuan dari
dari pendidikan nasional dapat tercapat sebagaimana yang diharapkan. Ketiga komponen
ini harus mengerti betul perannya masing-masing agar konsep pendidikan karakter
itu dapat tercapai seperti yang diharapkan sehingga fenomena aksi tawuran yang
dilakukan oleh peserta didik dapat diatasi dengan baik. Wallahu A'lam Bishawab
Sumber
Bacaan
Elmubarok,
Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung
: Alfabeta, 2009
Jalaludin, Teologi Pendidikan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2003
Majid,
Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012
Muslich,
Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab
Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta
: Bumi Aksara, 2011
Nata,
Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
…………….,
Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Redaksi
Sinar Grafika,UU Sisdiknas ( Sistem Pendidikan Nasional) 2003 (UU RI No.20
Th.2003), Sinar Grafika Offset, 2003
Syahidin,
Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur’an, Bandung: Alfabeta, 2009
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta: Kencana
Prenada Group Media, 2012