Thursday, April 30, 2020

Tasawuf dan Tasawuf Sunni ( Rabi’ah Al- Adawiyah, Zu Al-Nun Al- Misri, dan Al- Ghazali)


PENDAHULUAN

Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia berkualitas adalah ilmu tasawuf, ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu- ilmu yang lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tasawuf dinamakan juga dengan ilmu batin sebagaimana syaikh Al- Manawi dalam kitab faed al- qodir dalam menjelaskan hadist Nabi saw” ilmu itu dua macam, ilmu yang ada didalam kalbu itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah lmu hujjah/ hukum, atas anak cucu Adam.
Ilmu batin yang keluar dari qalbu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu yang dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu Syari’ah.Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah satu dari ilmu- ilmu ke Islaman yang begitu menarik untuk dikaji. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan tentang” tasawuf , asal usul dan Tasawuf Sunni ( Rabi’ah Al- Adawiyah, Zu Al-Nun Al- Misri, dan Al- Ghazali).
                                           PEMBAHASAN 
A.    Tasawuf
1.        Asal Usul Tasawuf
Istilah tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak  penghujung abad ke-dua Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari  kesalehan asketis atau para zahid yang  mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini  lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan  rohaniah dengan mengabaikan  kenikmatan duniawi.[1] Pola hidup  kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang  kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut  sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu  yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga  perhatiannya terpusat untuk beribadah. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-dua Hijriyah. Memasuki abad ke-tiga  Hijriyah sudah terlihat adanya peralihan  dari asketisme Islam ke sufisme. Tetapi menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf mengatakan bahwa embrio atau benih tasawuf dalam dunia Islam sudah Nampak dalam diri Nabi Muhammad SAW., baik jika melihat aspek kehidupan, akhlak serta  ibadah Beliau.[2]
Untuk melihat lebih jauh bagaimana munculnya tasawuf pada masa ini, di uraikan kehidupan beberapa sahabat nabi sebagai berikut :
a.       Kehidupan Khulafa’ al-Rasyidin
1)      Abu bakar as-Siddiq
Sebelum beliau masuk Islam ia adalah seorang pedagang besar yag jujur di zamannya. Setelah ia memeluk agama Islam, maka dia berstatus donatur tetap dalam semua aktifitas agama, maka semua kekayannya disumbangkan demi kepentingan dan syiarnya agama Islam. Kejujuran dan kesucian hatinya menyebabkan beliau dapat mendalami jiwa dan semangat Islam lebih dari yang didapat para muslimin yang lain.[3]
2)      Umar bin Khattab
Beliau memiliki kewibawaan dan kharismatik yang kuat, baik sebelum dan sesudah masuk Islam. Dan sebelum dan sesudah menjabat khalifah, beliau selalu tampil dengan bersahaja. Beliau dikenal sangat adil, mempunyai keberanian yang kuat, dekat dengan kalangan bawah, dan sangat takut mengambil harta kekayaan negara (amanah). Beliau adalah profil pemimpin yang sejati dan sukses.[4]
3)      Usman bin Affan
Beliau adalah konglomerat dizamannya, ia selalu tampil sebagai penyandang dana, beliau rela menyerahkan sebahagian besar harta bendanya demi perjuangan Islam, beliau selalu membebaskan budak-budak yang teraniaya oleh orang-orang kafir yang ditebus dengan hartanya sendiri.[5]
4)      Ali bin Abi Thalib (w. tahun 40 H)
Beliau yang paling zuhud dalam hidupnya, paling luas wawasannya tentang ilmu pengetahuan Beliau sangat luhur budi pekertinya, terkenal kesalehannya, dan juga kebersihan jiwanya.[6]
b.      Kehidupan Para Ahli Suffah
1)      Salman al-Frisiy
Dikalangan ahli tasawuf Salman al-Farisy di kenal sebagai seorang sahabat yang hidupnyazuhud, suka mengembara dan hidup dalam kemiskinan, beliau di anggap sebagai ahli Suffah yang dikarunai ilmu-ilmu ladunni yang dalam.[7]
2)      Abu Zar al-Gifariy (w. 22 H) 
Salah satu sahabat Nabi yang paling zahid sabar adalah Abu Zar al-Gifariy. Beliau tidak pernah merasa menderita bila ditimpa musibah, senang menerima cobaan, dan tidak pernah memiki apa-apa, dan tidak dimiliki oleh apa-apa.  Abu Zar al-Gifariy menganggap cobaan itu sebagai perhatian Tuhan kepadanya, sehingga ia selalu bersyukur.[8]
Dari uraian di atas, maka asal usul tasawuf abad ini yaitu pada masa Nabi, khulafa’al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah, nampaknya istilah penggunaan tasawuf untuk kehidupan rohani memang belum ada, tetapi tidak bisa di pungkiri faktanya bahwa Nabi dan para sahabatnya adalah praktisi yang di jadikan teladan para sufi sesudahnya. Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala hal di anggap, sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan di kembangkan oleh para sahabat khulafa’ al-Rasyidin dan ahlu Suffah yang dianggap sebagai pelaku-pelaku ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan rohani seperti yang dicontohkan oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang shaleh dan orang-orang sufi abad berikutnya.
2.        Pengertian Tasawuf
Secara Etimologis, Tasawuf banyak diartikan oleh para ahli, sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid nabawi yang di tempati oleh sebagian sahabat anshar, ada pula yang mengatakan berasal dari kata shaf yang berarti barisan, shafa yang berarti bersih atau jernih dan shufanah yakni nama kayu yang bertahan di padang pasir.[9]
Sedangkan menurut ulama sufi, tasawuf adalah latihan- latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syaikh Ibnu Atha’illah tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah, senantiasa melakukan perintahnya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama- sama dan berkekalan dengan-Nya secara bersungguh- sungguh.[10]
Adapun tentang definisi tasawuf secara terminologi yang di kemukakan oleh sejumlah tokoh sufi, di antaranya adalah[11] :
a.       Bisyri bin Haris mengatakan bahwa Tasawuf adalah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
b.      Sahl at-Tustari tasawuf adalah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah, baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
c.       Al-Junaid al-Baghdadi tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu kebenaran dan mengikuti syari’at Rasulullah Saw.
d.      Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi tasawuf adalah menjabarkan ajaran-ajaram Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sifat meringankan terhadap ibadah.
e.       Abu Yazid al-Bustami tasawuf adalah melepaskan diri dari perbuatan tercela, menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri kepada Allah.
f.       Ma’ruf al-Karkhi tasawuf adalah mengambil hakikat dan Tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.
g.      Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatta mengatakan tasawuf adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan jiwa, sifat- sifat tercela, dan sifat terpuji.
h.      Syaikh Abdus Somad Al- Falimbani di dalam kitabnya Siyarus Salikin syarah dari kitab Ihya Umuluddin Al- Imam Al- Ghazali berkata bahwa ilmu tasawuf itu ilmu yang memberi manfaat dunia dan akhirat karena ilmu tasawuf itu telah terhimpun di dalamnya ilmu Usuluddin, ilmu Fiqih, dan ilmu Tariqat.[12]
Apabila melihat beberapa definisi di atas, maka dapat di peroleh ungkapan yang singkat dan padat yang mencakup  dua segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang kedua adalah tujuan. Cara, di antaranya melaksanakan berbagai rangkaian peribadatan, latihan-latihan rohani  seperti zuhud.  Sedangkan tujuannya ialah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang puncaknya ialah penyaksian (masyadah).
B.     Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya mendasari tasawuf mereka dengan Al- Qur’an dan sunnah, serta mengaitkan keadaan ( ahwal ) dan tingkatan (maqomat) rohaniah mereka pada kedua sumber tersebut.[13] MAdapun ciri- ciri tasawuf sunni adalah sebagai berikut[14] :
  1. Melandaskan diri pada Al- Qur’an dan sunnah. Tasawuf jenis ini dalam ajaran- ajarannya cenderung memakai landasan Al- Qur’an dan sunnah sebagai kerangka pendekatannya
  2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat uangkapan- uangkapan syathahat
  3. Lebih bersifat mengajarkan dualism dalam hubungan antara Allah dan manusia yang dimaksud dualisme disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka berbeda. Sedekat apapun manusia dengan Allah tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan tuhannya
  4. Berkesinambungan antara syariat, tariqah dan hakikat
  5. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan moral, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dengan langkah takhali, tahali, dan tajali. Takhali yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Tahali yaitu menghiasi diri dengan akhlak mulia dan melaksanakan amal ibadah. Sedangkan tajali yaitu terbuka hatinya dari hijab yang membatasi diriny dengan Allah sehingga nampak jelas nur Allah di dalam pandangan mata hatinya.
Di bawah ini tokoh- tokoh sufi dalam pengembangan tasawuf sunni adalah sebagai berikut:
1.      Rabi’ah Al- Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabi’ah Al- Adawiyah binti Ismail al- Adawiyah al- Bashriyah, ia dilahirkan di Basrah pada tahun 95 H dan meninggal pada tahun 185 H.Ia diberi nama Rabi’ah karena merupakan putri ke empat dalam keluarga tersebut, sedangkan Adawiyah dikarenakan ia berasal dari keturunan Adawiyah.[15]
Rabi’ah adalah seorang wanita sufi yang pertama kali mempopulerkan mahabbah, makanya menjadi ajaran terpenting dalam diri seorang wanita sufi ini. Ia merupakan orang pertama mengajarkan al- Hubdengan isi dan pengertian yang khas tasawuf, hal ini berkaitan dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.[16]
Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawufyang pada umumnya dituangkan melalui syair- syair yang penuh cinta dan rindu kepada Allah. Adapun syair- syair mahabbah Rabi’ah al- Adawiyah adalah sebagai berikut[17] :
Kasihku, hanya engkau yang kucintai,
pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu
Walau mata jasadku tak mampu melihat engkau,
namun mata hatiku memandang- Mu selalu

Cinta kepada Allah adalah satu- satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Rabi’ah” cinta ku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain dia. Rabi’ah selalu memperbanyak taubat, dzikir, dan puasa serta sholat siang dan malam, sebagai perwujudan dari cintanya kepada Allah.Semakin hari semakin meningkat dan luluh dalam cinta yang abadi.Seluruh periwayat tasawuf menyatakan bahwa Rabi’ah al- Adawiyah selalu mengisi kehidupan siang dan malamnya dengan sholat diiringi derainya air mata rindu kepada Allah.[18]
2.      Zu Al- Nun Al- Misri
Nama lengkapnya ialah Abu al- Faidl Tsauban bin Ibrahim Zu al- Nun al- Misri al-Akhmini Qibthy, ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Ia adalah seorang ulama sufi besar dan terkemuka di antara sufi- sufi lainnya pada abad 3 H.[19]
Jasa Zu al-Nun al-Misri yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al- maqomat. Dia banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju dekat dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi, karenanya ia juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada abad3 H. Adapun pendapat- pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada Allah tentang jenjang al- maqomat dan hal, disamping itu al- Misri juga adalah salah seorang pelopor doktrin tentang al- ma’rifah.[20]
Ketika Zu al- Nun Misri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia mengatakan bahwa” aku mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak mengenal Tuhan”. Zun al- Nun Misri menjelaskan bahwa ciri- ciri ma’rifat itu ialah seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allah dan memutuskan segala sesuatuitu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala sesuatu hanya semata- mata karena Allah.[21]
Adapun pusat ma’rifat menurut Zu al- Nun Misri adalah komunikasi cahaya dari Allah kedalam hati nurani seseorang.Orang- orang yang sudah mencapai ma’rifat tidak berada lagi dalam diri mereka, tetapi dereka berada dalam zat Tuhan.[22]
3.      Abu Hamid Al- Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al- Ghazali ath- Thusi. Iadi lahirkanpada tahun 450 M dan wafat pada tahun 505 H. Ayahnya adalah seorang yang sholeh yang memiliki kebiasaan mendatangi para ulama dalam majelis- majelis pengajian. Dalam menuntut ilmu Imam Al-Ghazali sangat tekun, sehingga ia memperoleh ilmu dan menguasainya dengan luar biasa, berbagai bidang keilmuan yang ia kuasai seperti fiqih, akidah, akhlak, tasawuf, sejarah, bahkan filsafat sekalipun.[23]
Imam Al- Ghazali dalam dunia tasawuf dikenal sebagai tokohsufi yang piawai, bahkan ia merupakan salah seorang aulia yang mencapai derajat wali qhutub, sebuah kedudukan dalam tingkat kewalian yang sangat tinggi. Imam Al- Ghazali menulis beberapa kitab yaitu, Al- Basith, Al- Wajiz, Al- Munqidz Min adh- Dalal, Tahafut Falasifah, Bidayatul Hidayah, Minhajul Abidin, dan kitab yang sangat terkenal yang sampai sekarang masih dikaji adalah kitab Ihya Ulumuddin ( tentang tasawuf akhlaqi).[24]
Menurut Al- Ghazali jalan para sufi dalam tasawuf, baru dapat direalisir apabila telah dapat dilumpuhkan hambatan- hambatan jiwa serta membersihkan diri dari sifat- sifat yang buruk, sehingga qalbu dapat terbebas dari pengaruh segala sesuatu selain Allah. Dengan demikian menurutnya jalan sufi adalah paduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya  adalah moralitas. Hal ini berarti bahwa tasawuf adalah semacam pengalaman dan perjuangan yang berat, melalui belajar dan penyucian diri rohani sehingga tasawuf diperoleh melalui ketersingkapan batin. Bagaimana perjalanan hidup kerohaniannya secara rinci ia uraikan didalam kitab Al- Munqidz Min adh- Dalal.[25] Karena keyakinannya terhadap jalan kebenaran jalan sufi, maka Al- Ghazali berhasil mendeskripsikan jalan menuju kepada Allah dalam karya besarnya yaitu Ihya Umuluddin. Rentetan perjalanan itu bermula dari olah kerohanian melalui fase- fase tertentu yang berujung pada kefanaan, ma’rifat dan kebahagiaan atau sya’adah .[26]
                                      KESIMPULAN
       Tasawuf pada umumnya merupakan usah untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara murni dengan maksud untuk mendekatkan dirai kepada Allah SWT. dengan cara menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan  shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik  atau dimensi jasmani seseorang  menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat. Embrio munculnya praktek sufi dan ajaran tasawuf dalam Islam telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Dan menjadi sebuah gerakan yang terperinsip dan menjadi sebuah cabang keilmuan pada akhir abad ke II Hijriyah. Inti ajaran tasawuf terperinci ke dalam pembagian tasawuf itu sendiri yaitu: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Di antara ajaran pokok tasawuf amali yaitu syari’ah, tariqah, haqiqah  dan ma’rifah.

[1]A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 36
[2]Ibid. h. 37
[3]Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf,  Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002 ), h.30
[4]Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993), h. 127
[5] Ibid. h. 141
[6]Ummu Kalsum, op. cit. h. 31
[7]Ibid. h. 32
[8]Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa ,(Jakarta: Pustaka Islam, 1960 ), h. 61
[9]Amin syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab sosial abad 21,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 8
[10]Syaikh Muhammad Sarif bin H. Jarmani bin H. Muhammad Siddiq al- Banjari, Mubadi Ilmu Tasawuf, (Banjarmasin : Cetakan Pertama, 1392- 1973). h.13
[11]Permadi,  Pengantar Ilmu Tasawuf , (Jakarta : Pt.Rineka Cipta,2004 ), h. 28
[12]Syaikh Abdus Somad Al- Falimbani, kitab siyarus salikin Fi Tariqatul Sadatul Sufiyah , (Makkah : 1788), h. 7
[13].M. Sholihin, dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ( Bandung : Pustaka Setia,2008), h. 111
[14]. Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, ( Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002 ), h. 47- 48
[15].Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, ( Jakarta : PT. Sinar Grafika Offset, 2002 ). h. 227
[16]. Ibid.h. 227
[17].Ibid.h. 228
[18].Ibid. h. 228
[19].A Rivay Siregar, Op.cit, h. 80
[20].Ibid, h. 80- 81
[21].Samsul Munir Amin,Op.cit. h. 93
[22]. Ibid. Hal. 94
[23]. Ibid. Hal. 175
[24].Ibid. Hal. 178
[25].A Rivay Siregar, Tasawuf Op.cit, h. 83
[26]. Ibid, Hal. 84




MU’TAZILAH

Pendahuluan Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan...