Pendahuluan
Filsafat merupakan sikap atau
pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk membantu individu untuk
mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan. Filsafat membawa
kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang telah
layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk
mencapai tujuan. Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi
manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bias
terpenuhi secara cepat dan mudah. Ilmu juga merupakan sarana untuk membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Ontologi atau teori hakikat
yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan, epistemologi atau teori
pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan, dan aksiologi
atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan. Ketiga tersebut
merupakan bagian dari filsafat ilmu.
a. Ontologi
ilmu
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan
penyelidikan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Awal mula alam pikiran Yunani
telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Studi tersebut
membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan
Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan
dengan kenyataan. Thales merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas
perenungannya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting
ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).[1]
Istilah ontologi berasal dari
bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti yang
berada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.[2] Ontologi ialah ilmu yang membatasi diri
pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan
yang bisa diamati melalui pancaindra manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas
pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan
yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan
pasca-pengalaman (seperti surge dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan
lainnya di luar ilmu.[3]
Noeng
Muhadjir mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat
oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa objek formal dari ontologi adalah hakikat
seluruh realitas.[4]
Menurut
Imam Khanafie Al-Jauharie, Ontologi yaitu pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan
denagn eksistensi keberadaan atau wujud segala sesuatu sampai pada aspek
hakikat, realitas yang sejati dari sesuatu. dengan kata lain ontology merupakan
sarana umtuk menjawab pertanyaan apa (what).[5]
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri mengatakan, ontologi membahas apa yang
dingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain,
suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.[6]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu
merupakan pembahasan
tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal dengan mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan atau objek yang
akan ditelaah dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) sehingga membuahkan sebuah
pengetahuan. Serta
menjadi asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran
tentang hakikat realitas dari objek
penelaahan tersebut.
Ada beberapa pandangan pemahaman tentang
ontologi, diantaranya yaitu :
1) Monoisme
Paham ini mengganggap
bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan hanyalah satu saja, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yamg
asal berupa materi atau pun berupa ruhani. Paham ini kemudian terbagi kadalam dua aliran:
a) Materialisme,
aliran ini menggangap bahwa sumber yang asal itu adalah materi bukan ruhani.
b) Idealisme,
aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, sesuatu yang tidak berbentuk
dan menenpati ruang.
2) Dualisme
Aliran ini
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua maca hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3)
Pluralisme
Paham ini berpendapat
segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan
dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
4)
Nihilisme
Sebuah doktrin yang
tidak mengakui faliditas alternatif yang positif. Pertama,
tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu
ada, ia tidak dapat diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya karena sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas
itu dapat
diketahui, ia tidak akan dapat kita
beritahukan kepada orang lain.
5)
Agnostisisme
Paham ini mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. baik hakikat materi maupun
hakikat ruhani.[7]
Dalam kaitannya
dengan kaidah moral, bahwa dalam menetapkan objek penelaahan tidak boleh
melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat
manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara
ontologism ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik
dalam menafsirkan hakikat realitas, sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk
mempelajari alam
sebagaimana adanya.
b. Epistimologi ilmu
Epistemologi
berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme
bisa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran,
kata, teori.[8] Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
benar atau tidaknya suatu pengetahuan.[9]
Sebagai
sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan atau
pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan terhadap epistemologi,
para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan
yang berbeda ketika mengungkapkannya. Akan
tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu
diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar
katanya episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis,
teori).[10]
Secara
terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan
dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas
pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.[11]
Adapun epistimologi menurut para ahli adalah :
1) Menurut Imam
Barnadib, epistemologi merupakan sebuah penjelasan tentang apa yang disebut
pengetahuan, bagaimana cara manusia memperoleh atau menangkap pengetahuan
tersebut dan jenis-jenis pengetahuan yang dihasilkan.
2) Menurut Milton D. Hunnex menyebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sifat dasar, sumber, dan validitas pengetahuan” (epistemology
comprises the systematic study of the nature, sources, and validity of
knowledge).[12]
3) Menurut
P. Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.
4) Sedangkan
D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan lingkup
pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[13]
5) Menurut Azyumardi Azra, beliau menambahkan
bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[14]
Am
Syaifudin menyebutkan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab,
apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana
membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita
mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah
batassannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok,
masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[15]
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk
memperoleh pengetahuan.
Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan
suatu tahap
pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya
tanpa suatu tujuan, maka
sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[16] Sedangkan tujuan epistemologi yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Karena epistemologi merupakan
sub sistem filsafat
yang bertugas memberdayakan pemikiran. Akhirnya epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan.[17]
Dengan memperhatikan definisi
epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah
ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting
akan dijelaskan:
a)
Cakupan
pokok bahasan,
Yakni apakah subyek epistemologi
adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushuli. Ilmu
itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan
batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Makna
leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala
hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran dan juga meliputi
ilmu-ilmu seperti hudhuri, hushuli, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu
manusia.
2)
Ilmu
adalah kehadiran (hudhuri)
dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam.
Makna ini mencakup ilmu hushuli
dan ilmu hudhuri.
3)
Ilmu
yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushuli
dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
4)
Ilmu
adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini
dan belum diyakini.
5)
Ilmu
ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas
eksternal.
6)
Ilmu
ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana
tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7)
Ilmu
ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
b)
Sudut
pembahasan
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian
dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan
pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushulo
dan ilmu hudhuri
juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang
diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan
sebagai subyek dalam epistemologi.[18]
Adapun
aliran-aliran dari epistimologi menurut Ahmad Tafsir adalah sebagai berikut :
1)
Humanisme
adalah paham aliran filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur
dirinya dan alam. Humanime telah muncul pada zaman Yunani Lama.
2)
Rasionalisme
adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan.
3)
Empirisisme
adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan
ada bukti empiris.
4)
Positivisme
adalahpaham yang mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti
empirisnya, yang terukur.[19]
c.
Aksiologi ilmu
Aksiologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang orientasi atau nilai
suatu kehidupan. Disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab
suatu pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak ? Teori
nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika. Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang
menyoroti masalah nilai dan
kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk
peningkatan kualitas kesejahteraan
dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.[20] Adapun aksiologi menurut para ahli adalah :
1)
Menurut Jujun S. Suriasumantri bahwa aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.
2)
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam
tiga bagian,
pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yakni ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan
melahirkan filsafat sosio-politik.
3)
Menurut
Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
4) Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu
pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan.
5) Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi
terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian
filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan
estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang
karya manusia dari sudut indah dan jelek.[21]
Dalam Encyclopedia of Filosofi dijelaskan, aksiologi disamakan dengan
Value and Valuation. Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.[22]
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang
diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan
mempelajari atom kita dapat
memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka
bagi manusia. Penciptaan bom
atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan
mengancam keselamatan
umat manusia.[23]
Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu
sendiri. Kedua, apakah
ilmu bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai,
sebab nilainilai menyatu dengan
ilmu itu sendiri.[24] Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang
aksiologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang
nilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya
ilmu pengetahuan
juga mempunyai efek negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu
angkara murka manusia ketika
hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang
baik bagi pengetahuan
untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik,
buruk, semestinya,
benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban,
dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.[25]
Jadi, ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia.
Karena tak mungkin
yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin dalam
pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Begitu juga dengan
epistemologi, pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara
yang bisa didapatkan orang
lain atau tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak
dapat dipelajari oleh orang lain. Sedangkan aksiologi membahas tentang nilai
suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka
pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya.
Masing-masing manusia mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan
secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua
pengetahuan memiliki tujuan obyektif.
[3]Sabarti Akhadiah dan Winda
Dewi Listyasari, Filsafat ilmu Lanjutan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 143
[4]Amsal
Bakhtiar, op.cit, h. 133
[5]Imam
Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam (Pendekatan Tematik), (Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press, 2010), h. 3
[13]Mujamil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 3
[18]Duski Samad, Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi,
di akses pada
tanggal 27 Maret 2017
[19]Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 28-32
[20]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas
filsafat, 2000), PDF
[23]Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, op.cit, PDF
No comments:
Post a Comment