Sunday, April 26, 2020

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AXIOLOGI ILMU

       Pendahuluan
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai tujuan. Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bias terpenuhi secara cepat dan mudah. Ilmu juga merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan, epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan, dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna pengetahuan. Ketiga tersebut merupakan bagian dari filsafat ilmu. 
a.      Ontologi ilmu
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales merupakan tokoh filsafat Yunani tertua, atas perenungannya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).[1]
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta onta berarti yang berada, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.[2] Ontologi ialah ilmu yang membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui pancaindra manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surge dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.[3]
Noeng Muhadjir mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.[4]
Menurut Imam Khanafie Al-Jauharie, Ontologi yaitu pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan denagn eksistensi keberadaan atau wujud segala sesuatu sampai pada aspek hakikat, realitas yang sejati dari sesuatu. dengan kata lain ontology merupakan sarana umtuk menjawab pertanyaan apa (what).[5] Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri mengatakan, ontologi membahas apa yang dingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.[6]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ontologi ilmu merupakan pembahasan tentang sesuatu yang ada atau wujud, riil, serta universal dengan mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau objek yang akan ditelaah dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) sehingga membuahkan sebuah pengetahuan. Serta menjadi asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan tersebut.
Ada beberapa pandangan pemahaman tentang ontologi, diantaranya yaitu :
1)      Monoisme
Paham ini mengganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yamg asal berupa materi atau pun berupa ruhani. Paham ini kemudian terbagi kadalam dua aliran:
a)      Materialisme, aliran ini menggangap bahwa sumber yang asal itu adalah materi bukan ruhani.
b)      Idealisme, aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, sesuatu yang tidak berbentuk dan menenpati ruang.
2)      Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua maca hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
3)      Pluralisme
Paham ini berpendapat segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
4)      Nihilisme
Sebuah doktrin yang tidak mengakui faliditas alternatif yang positif. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya karena sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
5)      Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.[7]
Dalam kaitannya dengan kaidah moral, bahwa dalam menetapkan objek penelaahan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologism ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas, sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
b.      Epistimologi ilmu
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme  dan logos. Episteme bisa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, teori.[8] Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu pengetahuan.[9] Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda ketika mengungkapkannya. Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori).[10]
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.[11] Adapun epistimologi menurut para ahli adalah :
1)      Menurut  Imam Barnadib, epistemologi merupakan sebuah penjelasan tentang apa yang disebut pengetahuan, bagaimana cara manusia memperoleh atau menangkap pengetahuan tersebut dan jenis-jenis pengetahuan yang dihasilkan.
2)      Menurut Milton D. Hunnex menyebutkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sifat dasar, sumber, dan validitas pengetahuan” (epistemology comprises the systematic study of the nature, sources, and validity of knowledge).[12]
3)      Menurut P. Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
4)      Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan lingkup pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[13]
5)      Menurut  Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[14]
Am Syaifudin  menyebutkan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah batassannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok, masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[15]
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[16] Sedangkan tujuan epistemologi yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Karena epistemologi merupakan sub sistem filsafat yang bertugas memberdayakan pemikiran. Akhirnya epistemologi dikenal sebagai pusat dinamika keilmuan.[17]
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
a)      Cakupan pokok bahasan,
Yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushuli. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhuri, hushuli, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu manusia.
2)      Ilmu adalah kehadiran (hudhuri) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushuli dan ilmu hudhuri.
3)      Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushuli dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
4)      Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
5)      Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
6)      Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7)      Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
b)      Sudut pembahasan
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushulo dan ilmu hudhuri juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.[18]
Adapun aliran-aliran dari epistimologi menurut Ahmad Tafsir adalah sebagai berikut :
1)      Humanisme adalah paham aliran filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanime telah muncul pada zaman Yunani Lama.
2)      Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan.
3)      Empirisisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.
4)      Positivisme adalahpaham yang mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang terukur.[19]
c.       Aksiologi ilmu
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Disebut juga teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak ? Teori nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan estetika. Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.[20] Adapun aksiologi menurut para ahli adalah :
1)      Menurut Jujun S. Suriasumantri bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
2)      Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian, pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yakni ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
3)      Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
4)      Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
5)      Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.[21]
Dalam Encyclopedia of Filosofi dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.[22]
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[23]
Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilainilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.[24] Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.[25]
Jadi, ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Begitu juga dengan epistemologi, pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh orang lain. Sedangkan aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan obyektif.



[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 131
[2]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 118-119
[3]Sabarti Akhadiah dan Winda Dewi Listyasari, Filsafat ilmu Lanjutan, (Jakarta: Prenada Media  Group, 2009), h. 143
[4]Amsal Bakhtiar, op.cit, h. 133
[5]Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam (Pendekatan Tematik), (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2010), h. 3
[6]Amsal Bakhtiar, loc.cit, h. 133
[7]Ibid., h. 135-148
[8]Surajiyo, op.cit, h. 24
[9]Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama, 2010), h. 229
[10]Ibid., h. 230
[11]Iibid., h. 231
[12]Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.Grafindo Persada: 2014), h. 31
[13]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 3
[14]Ibid., h. 4
[15]Ibid., h. 4
[16]Ibid., h. 8                      
[17]Ibid., h. 10
[18]Duski Samad, Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, di akses pada tanggal 27 Maret 2017
[19]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), h. 28-32
[20]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000), PDF
[21]Ibid
[22]Amsal Bakhtiar, op.cit, h. 162
[23]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, op.cit, PDF
[24]Ibid
[25]Ibid

No comments:

Post a Comment

MU’TAZILAH

Pendahuluan Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, di masyarakat pada saat itu sudah berkembang perdebatan yang sengit dalam hal pemikiran dan...